Seketika ratusan kembang api melesat cepat ke angkasa seperti lesatan roket yang kemudian meledak menghamburkan ribuan percikan bunga api. Suara letusan menggelegar di telinga mengingatkanku pada berita-berita di televisi yang menayangkan kondisi perang di Timur Tengah. Di bawah langit yang mendadak ramai itu, sekumpulan manusia bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Meski kemurungan tengah menjangkitiku, kemeriahan pesta kembang api itu membuatku takjub seperti anak kecil yang diajak bermain dalam dunia fantasi. Leherku sama sekali tak merasa pegal walaupun kepalaku terus tengadah ke atas langit. Diam-diam aku menaruh harapan dan percaya hal demikian mampu membawaku pada keberuntungan seolah-olah percikan bunga api itu adalah berkah yang diturunkan Tuhan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Saking terpesonanya melihat langit, aku tak sadar sepasang kakiku menjejak pinggiran kolam yang licin. Ketika aku melangkah sekali lagi tiba-tiba tubuhku langsung goyah hilang keseimbangan seolah-olah tangan-tangan gaib terus menggelitikku. Sebisa mungkin aku bergerak-gerak mempertahankan posisi dan keseimbangan. Merasa sulit untuk terus mengendalikannya akhirnya aku tergelincir dan tubuhku jatuh ke dasar kolam air mancur tersebut. Seketika riak besar tercipta di permukaan kolam.
Meski tak mampu berenang, aku berusaha menggapai-gapai naik, menjulurkan tangan ke udara dengan gerakan-gerakan liar, berusaha mempertahankan kepala untuk tetap berada di atas permukaan air dan mendapatkan udara. Seperti orang tercekik, aku berteriak-teriak minta tolong. Sepasang kakiku bergerak-gerak dalam kepanikan, namun tekanan air malah terus menarik-narikku hingga masuk ke dasarnya. Dalam kepungan air itu aku dapat mencium aroma anyir, menyerbuku seperti kawanan semut yang mencium gula, memasuki lubang telinga dan hidung, bahkan terminum oleh mulutku.
Kemudian, dari kemeriahan letusan kembang api di atas langit perhatian tiap orang teralih padaku. Bukannya segera menolong, mereka malah ikut-ikutan panik dan bingung. Dalam pandangan mataku, aku laksana umat Nabi Nuh yang ditinggalkan bahtera dalam banjir besar, sementara mereka termasuk orang-orang yang terselamatkan dalam bahtera tersebut. Karena mereka telah repot-repot mengenakan pakaian terbaik mereka di malam pergantian tahun ini, tak mungkin mereka bersedia merusak penampilan mereka dengan menceburkan diri ke dasar kolam. Masing-masang mereka saling mengandalkan dan menunggu siapa yang berani menceburkan diri. Sekian detik aku masih terus berusaha menyelamatkan nyawaku, lalu merasa yakin mungkin beginilah nasib akhir hidupku; mati konyol.
Ketika dunia di sekelilingku mulai terasa begitu hening, kecuali suara dengingan yang terdengar di telinga, aku menyesal telah datang ke malam pergantian tahun ini. Seharusnya aku tetap teguh pada pendirian bahwa tahun baru, apapun alasannya, tak layak untuk dirayakan.
Ketika aku mulai berpikir tak ada harapan lagi, sekelebat bayangan muncul dari balik kerumunan orang-orang. Dengan lompatan yang cukup tangkas, tubuhnya melengkung di udara seperti atraksi seekor lumba-lumba melompati lingkaran besi berapi. Laksana menjelma kecebong rawa, ia berenang cepat ke arahku, menangkap badanku, dan membawanya ke tepi. Sambil terbatuk-batuk dan menahan mual, aku naik ke pinggiran kolam. Di bawah temaramnya cahaya lampu, nafas penolongku itu tampak tersengal-sengal. Ketika ia menoleh padaku, perlu waktu beberapa saat untuk meyakinkan diri bahwa yang menolongku adalah seorang perempuan. Seperti halnya diriku, ia juga kuyup dan kedinginan.
Kini dunia telah benar-benar menyaksikan kelemahanku sebagai lelaki. Ketika perempuan itu mengerahkan seluruh tenaganya dengan penuh keberanian, betapa kesalnya aku terhadap berat badanku. Sebelumnya aku tak pernah ditempatkan dalam kondisi sesulit dan sememalukan ini. Syukurnya, tiba-tiba doaku terkabul; hujan turun menderas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H