"Denganku," ucapku dengan gaya bak seorang yang tengah berusaha membela diri, "bisa saja ia menjadi muallaf."
      Iwin kembali tertawa mengejekku, yang sekaligus tawanya itu mengingatkanku bahwa keimananku adalah sesuatu yang meragukan. "Dia itu makan babi," bisiknya hati-hati seolah-olah itu adalah kata-kata yang dapat menyinggung Lestari apabila ia mendengarnya. "Terutama Batak, ia juga pasti makan anjing, setidaknya pernah makan anjing. Coba bayangkan kamu mencium dia setelah makan babi ataupun anjing."
      Barangkali Iwin bermaksud membuatku begidik jijik, tapi tak tahu kenapa aku tak merasakan pengaruh apapun kecuali aku merasa bergairah. Meski begitu, setidaknya saat ini aku tak perlu menghibur diri sendiri lagi karena ditolak Lestari.
      Iwin menepuk bahuku dan rasa sakitnya menjalar hingga ke otakku. Aku menggeregap. Secara refleks mataku berkedip sekali dan lepas dari lamunan.
      "Kenapa?" ejeknya. "Naksir sama gadis itu?"
      Tak hanya aku seorang, Iwin juga memanjangkan lehernya memperhatikan sepeda motor itu hilang di tikungan gang. "Mengapa?" wajahku merengut. "Kau ikut tertarik juga?"
      "Beginilah nasib jomblo sejati," singgungnya sambil tertawa jahil. "Cuma bisa mengagumi dari jauh."
      "Jomblo atau tidak itu pilihan," tukasku.
      "Hanya saja pilihan paling terbuka itu menjomblo, bukan?"
      "Kalau sama-sama jomblo tak perlu saling ledek."
      "Kalau mau aku bisa saja punya pacar," kata Iwin. "Masalahnya aku ini cepat bosan. Watak playaboy inilah yang membuatku memutuskan sendiri dulu; aku takut menyakiti hati perempuan dan disangka bajingan."