Siang itu di sebuah ruang kuliah kewirausahaan….
“Selamat siang, saudara-saudara”.
“Selamat siang, Mr. Y.”
Mr. Y begitulah beliau biasa dipanggil oleh para mahasiswanya. Tetapi jangan pernah mengira bahwa Y adalah inisialnya, sama sekali bukan. Bahkan tak satupun huruf Y bisa ditemui pada nama lengkapnya yang terdiri dari 2 suku kata. Kenapa bisa dipanggil Mr. Y? Karena beliau senantiasa mengucapkan huruf j dengan huruf Y. Misalnya “jangan begitu” akan diucapkan “yangan begitu”, “perkembangan jaman” diucapkan “perkembangan yaman”, begitu seterusnya. Y itu seolah menjadi ciri khas, identitas, atau entah apalah namanya, tetapi yang jelas itulah yang membuat beliau dipanggil Mr. Y.
“Keluarkan secarik kertas dan alat tulis yang diperlukan”, Mr. Y memberikan instruksi.
“Ha….”, mayoritas mahasiswa terkejut.
“Ujian ya pak? Ini kan tidak jadwalnya ujian” celetuk mahasiswa entah bertanya entah protes tidak jelas bedanya.
“Bukan ujian. Saya sudah mengira kalian akan protes, karena itu sebelum saya sampaikan instruksi selanjutnya saya meminta saudara untuk tidak protes lagi. Bisa dimengerti?”
“Bisa pak, bisaaaaaa…. Ha ha ha” Jawab mahasiswa kompak sambil tertawa.
“Gambarkan keindahan di atas kertas dengan menggunakan peralatan yang saudara sediakan. Waktunya 5 menit.”
Mahasiswa pun bingung, bagaimana bisa melukis, mereka bukan mahasiswa jurusan seni. Mata kuliahnya pun juga bukan mata kuliah seni. Dosen Kewirausahaan ini aneh-aneh saja. Sejenak semua mahasiswa tertegun di dalam kebingungan. Mau protes tidak bisa karena sudah diminta untuk tidak protes. Kalaupun protes juga tidak akan diterima, buang-buang waktu saja. Akhirnya di dalam kebingungan itu para mahasiswa itu menggambar sebisanya.
“Waktunya habis, silakan dikumpulkan sekarang. Cepat.”, kata Mr. Y.
Mahasiswa pun dengan berat hati mengumpulkan lukisan. Mr. Y. pun melihatnya satu per satu, lalu mengelompokkannya.
“Dari 70 mahasiswa 65 mahasiswa menggambar obyek yang sama, yaitu 2 gunung, sawah, dan pohon.” Kata Mr. Y sambil menunjukkan gambar yang memang rata-rata hamper sama.
“Saya heran. Kenapa 65 mahasiswa mempunyai pemikiran yang sama? Bayangkan dari 70 mahasiswa, 65 mahasiswa menggambar obyek yang sama, yaitu gunung, sawaha, dan pohon. Kalau saya Sutradara, sudah saya buatkan film Ada Apa Dengan Gunung, Sawah, dan Pohon.” Kata Mr. Y disambut dengan tawa riuh mahasiswa.
Setelah itu dosen melanjutkan penjelasannya.
“Saudara-saudara sudah semester VIII kenapa gambar Saudara persis seperti anak SD kelas rendah? Saudara harus tersinggung dengan ucapan saya, lalu move on. Bertahun-tahun lamanya waktu berlalu, kapan move on nya? Zaman terus berkembang, kenapa saudara diam di tempat. Kalau Saudara mau jadi wirausaha saudara tidak bisa diam di tempat, Saudara harus bergerak, ikuti perkembangan zaman. Karena itu Saudara harus tersinggung dengan ucapan saya, lalu move on.”
Seorang mahasiswa mengangkat tangannya. Dia adalah mahasiswa yang dikenal aktif, cerdas, banyak bertanya, dan juga kritis. Sebut saja A namanya.
“Saudara mau bertanya? Silakan.”
“Maaf bapak, saya tidak bertanya. Saya cuma ingin menyampaikan kalau saya tidak tersinggung pada ucapan bapak.”
“Kenapa begitu?” tanya Mr. Y.
“Karena lukisan saya tidak termasuk ke dalam kelompok 65 lukisan yang bapak sebutkan”.
“Bagus kalau begitu. Baiklah saya tunjukkan 5 gambar yang tersisa.
Gambar 1, gambar baju. Wah ini mungkin calon desainer busana.
Gambar 2, gambar bunga. Bagus mungkin pelukisnya bisa membuka toko bunga.
Gambar 3, gambar gitar. Yang ini mungkin dan menggeluti seni musik.
Gambar 4, gambar meja kursi. Ini pengolahan kayu agar menjadi produk yang indah.
Gambar 5, gambar apa ini, kayaknya matahari. Ya bagus mungkin sudah mulai tertarik di dunia politik dan condong pada partai politik tertentu.”
A kembali mengacungkan jari untuk kedua kalinya.
“Saudara mau bertanya?”
“Tidak pak, hanya mau klarifikasi saja.”
“Silakan”
“Gambar nomor 5 itu gambar saya pak, tetapi tidak seperti penjelasan bapak.”
“Owh, Saudara tidak terima dengan penjelasan saya tidak apa-apa, silakan dijelaskan.”
“Gambar itu gambar matahari pak, tetapi saya tidak bermaksud menggambar lambang partai.”
“Lantas apa maksudnya?”
“Matahari adalah simbol cahaya. Keindahan di dunia ini apapun bentuknya tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya cahaya yang menerangi.”
Semua mahasiswa tiba-tiba diam tak bergerak tanpa suara. Dosen yang tadinya berdiri membawa lukisan pun meletakan kertas-kertas tersebut lalu duduk. Kelas menjadi hening. Seisi kelas berusaha mencerna dan meresapi perkataan A mahasiswa kritis dan pemberani itu. A pun kemudian melanjutkan perkataannya.
“Gunung, sawah, dan pohon atau apa pun yang Bapak dan teman-teman anggap sebagai keindahan itu tidak akan benar-benar indah tanpa adanya cahaya. Karena itulah cahaya memegang peranan penting dalam kehidupan ini. Dan di balik itu ada cahaya di dalam cahaya. Ini yang tidak boleh kita lupakan.”
A mengakhiri penjelasannya. Kelas menjadi hening sesaat. Kemudian Mr. Y berkata
“Ternyata mengandung filosofi yang luar biasa. Benar-benar kreatif. Waktunya habis. Sampai jumpa pertemuan yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H