Mohon tunggu...
Fajar Setyawan
Fajar Setyawan Mohon Tunggu... -

Orang biasa yang lahir dan dibesarkan di desa kecil. Baru belajar menulis sederhana. Mudah-mudahan bermanfaat. Terima kasih untuk semua komentar, kritik, dan saran. Salam Persahabatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pelukis Matahari 1 - Kenangan Manis Masa SMA

18 Mei 2010   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:08 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Semilir angin menampar lembut wajahku, tawa canda teman-temanku, serta keindahan pesona pantai matahari terbenam (sunset beach) seolah begitu kuat mencengkeram dinding ruang hatiku.

Terlampau sulit melepaskannya, terlampau sulit tuk menghapusnya. Jari mungilku terus melukis di atas hamparan pasir, meski riak ombak kecil terus-menerus menghapusnya, aku tak menyerah. Tiap kali ombak menghapus lukisanku, aku segera melukisnya kembali, meski kemudian ombak kan menghapusnya, aku tetap menggambar lagi.

“Hi, what are you doing?”, suara lembut gadis berambut pirang panjang bergerai tiba-tiba menyapaku. Matanya sipit bercahaya, kulitnya bersih, tinggi semampai. Sungguh keindahan yang tak bisa kulewatkan begitu saja.

“Drawing”, Jawabku pendek.

“What is that?”, dia bertanya lagi sambil duduk di sampingku.

“Sunrise”, jawabku sambil terus menggambar matahari terbit.

“Are you joking? It’s afternoon”, dia mengira aku bercanda sebab aku melukis matahari terbit di sore hari menjelang petang bukan di pagi hari.

“No. I see It’s afternoon”, jawabku sambil terus melukis.

“Why do you do it?” , dia bertanya penuh penasaran.

“Because my name’s Fajar. Fajar means sunrise, So I draw my name myself”.

“Ahay………, my name’s Wifa and I follow you”, dia berkata kegirangan.

“What do you mean? I don’t know.” tanyaku.

“Your name is Fajar. It means sunrise. My name is Wipa. It means shine. So I follow you, wherever and whenever you go.”

“really?”

“yup”.

“I forget to say something to you”, Wipa seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat penting.

“What’s that?” tanyaku diselimuti rasa ingin tahu mendera hatiku.

“How do you do”, perlahan dia mengulurkan tangannya kepadaku.

“How do you do too”, jawabku sambil meraih telapak tangan Wipa dan menjabatnya erat. Ada sejuta tanya menyelinap dalam kalbuku, rasa aneh, rasa penasaran, kenapa namanya bisa dihubungkan dengan namaku, kenapa dia langsung akrab tanpa rasa takut dan curiga, seolah kami sudah bertemu bertahun-tahun lamanya, pernyataannya yang akan mengikuti langkahku kemanapun dan kapanpun aku pergi. Janjinya kepadaku kalau aku adalah orang Indonesia pertama kali yang akan dia temui apabila suatu saat dia datang kembali ke Indonesia.

Pantai Kuta seolah menjadi saksi bisu perkenalanku dengan gadis asing yang kelak akan terukir dalam kisah hidupku. Mengisi buku harian yang kutulis dan kusimpan rapi dalam hatiku yang paling dalam. Kami bercerita panjang lebar tentang asal-usul kami masing-masing, perbedaan budaya, perbedaan gaya hidup, dan masih banyak lagi. Sementara mataharipun tersenyum, lalu perlahan bergerak ke tempat peraduannya di ufuk barat. Aku melihat wajah Wipa kuning keemasan, seolah memberi tanda padaku, kelak dia akan berubah menjadi begitu berharga seperti kilau emas.

Petangpun datang menjelang, kami pergi ke hotel masing-masing. Besuk pagi Wipa akan pulang ke Bangkok, Thailand melalui Bandara Internasional Ngurah Rai Bali. Sedangkan aku harus mengikuti rombongan pulang ke Ngawi, kota kecil yang terkenal dengan keripik tempenya. Masyarakatnya yang ramah, pekerja keras, tidak kenal lelah meski kadang hanya mendapatkan imbalan beberapa ribu saja dalam sehari. Kembali ke sekolah tempat aku menuntut ilmu, dengan segudang tugas dan PR yang diberikan, juga ulangan harian yang datang bertubi-tubi tak kenal kompromi.

Disamping semua rutinitas yang menuntut kesabaran dan keuletan itu, ada buku wajib yang harus tiap hari kami buka, yaitu “facebook”. Dengan situs jejaring sosial ini aku menjalin komunikasi dengan teman-temanku, termasuk dengan Wipa. Aku telah berfikir sekian kali sebelum bergabung di jejaring sosial ini, karena minimnya pengetahuanku tentang agama. Ada fatwa yang menyatakan facebook itu haram, sehingga mau tidak mau aku harus mempertimbangkannya baik-baik, bukan karena sok suci, sok alim, dsb. tetapi karena minimnya pengetahuanku tentang agama. Sementara dosa yang telah kulakukan seperti hamparan pasir di pantai, rasanya sangat tak tahu diri kalau aku masih saja dengan sengaja menambah dosa-dosaku. Mau jadi apa aku????

Mengapa facebook diharamkan??? Karena banyak penyalahgunaan yang dilakukan oleh anggota jejaring sosial ini. Pergaulan bebas, prostitusi terselubung, transaksi haram, lupa waktu ibadah serta kewajiban, dan masih banyak lagi. Tetapi seperti mata pisau, yang selalu punya 2 sisi, facebook pun disamping memiliki sisi negatif juga memiliki sisi positif. Diantaranya bisa digunakan ajang silaturahmi murah dengan keluarga, sahabat, dan teman, juga bisa juga untuk sarana belajar, karena di facebook juga ada grup-grup yang memberi informasi tentang berbagai ilmu. Sebagai pembanding adalah ketika terjadi kasus pembunuhan menggunakan pisau, kita tidak bisa langsung menyatakan pisau itu haram, lalu pergi ke pasar-pasar seraya melarang pedagang menjual pisau. Padahal kita semua tahu kalau pisau juga digunakan ibu-ibu memasak di dapur, serta digunakan juga untuk memotong hewan kurban. Jadi yang haram bukan pisaunya, bukan pula facebooknya, yang haram adalah penggunaan yang bertentangan dengan syariah dan tuntunan agama. Setidaknya ini adalah keyakinan yang akhirnya mengijinkan aku mendaftar dan bergabung dengan facebook, jejaring sosial beranggotakan jutaan orang di seluruh penjuru dunia. Mengisi hari-hariku dengan canda tawa teman-temanku di dunia nyata dan dunia maya.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Tiba-tiba bayang-bayang saat-saat kelulusanku dari SMA favorit di kotaku menyelinap dalam kalbuku. Hari dimana teman-temanku menyatakan ekspresi kebahagiaannya dengan berbagai cara. Mulai dari mengecat rambut dan pakaiannya, berfoto ria bersama teman-teman, mencium tangan gurunya, melakukan sujud syukur, hingga cuma mengucapkan alhamdulillah lirih. Aku termasuk golongan yang terakhir, tidak merayakan kegembiraanku secara berlebihan. Jujur saja ada galau dalam hatiku, hendak kemana nasib akan membawaku pergi setelah aku lulus dari SMA. Tapi aku tak bisa menyandarkan semua pada nasib. Hidup adalah perjuangan, lulus bukan berarti akhir sebuah perjuangan bagiku, sebab ini baru awal dari perjuangan panjang dalam hidupku. Nasib itu di luar wilayah jangkauanku, wilayahku adalah berusaha dan berdoa.

”Selamat atas kelulusanmu, Fajar”, seorang gadis berkerudung menghampiriku.

“Terima kasih. Selamat juga atas kelulusanmu”, jawabku.
Kami tidak saling berjabat tangan layaknya orang yang mengucapkan selamat. Aku menghargai keyakinannya untuk tidak berjabat tangan atau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya.

Dia adalah Rahma, seorang gadis beruntung, teman satu sekolahku yang dilahirkan dari keluarga berada, dengan lingkungan dan budaya keluarga yang islami, masih ditunjang dengan kecerdasannya yang diatas rata-rata. Sebelum pengumuman kelulusan pun dia telah diterima di fakultas kedokteran UGM. Namun semua itu tidak membuatnya tinggi hati, dia tetap seorang yang bersahabat dengan siapa saja, suka menolong, menghargai orang lain. Dia benar-benar beruntung. Dia adalah satu-satunya temanku yang mendukung aku ketika aku bercita-cita menikah ketika lulus sekolah. Hahaha……….. mungkin karena dia adalah satu-satunya teman yang tahu kalau aku tidak bisa mengendalikan diriku.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Hari berganti silih berganti, hingga tiba saatnya aku harus menentukan pilihan sulit, mana yang meski kupilih menunggu janji Wipa untuk menemuiku jika kembali ke Indonesia, menunggu janjinya untuk selalu mengikuti langkahku kapanpun dan dimanapun, Atau realistis menempuh jalan hidupku sendiri, menikah, lantas dengan siapa? Aku tidak pernah pacaran, dan memang tidak bercita-cita pacaran. Masak dengan Rahma, mana mungkin dia, dia baru saja masuk kuliah, dan lagi perbedaan kami seperti langit dan bumi, mana mungkin. Hmm…………..

“Assalamu ‘alaikum………. Hayo melamun lagi……………”, tiba-tiba Rahma datang membuyarkan lamunanku. Tapi ada apa dia datang ke rumah tmpat tinggalku yang reot ini?????????

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun