“What do you mean? I don’t know.” tanyaku.
“Your name is Fajar. It means sunrise. My name is Wipa. It means shine. So I follow you, wherever and whenever you go.”
“really?”
“yup”.
“I forget to say something to you”, Wipa seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat penting.
“What’s that?” tanyaku diselimuti rasa ingin tahu mendera hatiku.
“How do you do”, perlahan dia mengulurkan tangannya kepadaku.
“How do you do too”, jawabku sambil meraih telapak tangan Wipa dan menjabatnya erat. Ada sejuta tanya menyelinap dalam kalbuku, rasa aneh, rasa penasaran, kenapa namanya bisa dihubungkan dengan namaku, kenapa dia langsung akrab tanpa rasa takut dan curiga, seolah kami sudah bertemu bertahun-tahun lamanya, pernyataannya yang akan mengikuti langkahku kemanapun dan kapanpun aku pergi. Janjinya kepadaku kalau aku adalah orang Indonesia pertama kali yang akan dia temui apabila suatu saat dia datang kembali ke Indonesia.
Pantai Kuta seolah menjadi saksi bisu perkenalanku dengan gadis asing yang kelak akan terukir dalam kisah hidupku. Mengisi buku harian yang kutulis dan kusimpan rapi dalam hatiku yang paling dalam. Kami bercerita panjang lebar tentang asal-usul kami masing-masing, perbedaan budaya, perbedaan gaya hidup, dan masih banyak lagi. Sementara mataharipun tersenyum, lalu perlahan bergerak ke tempat peraduannya di ufuk barat. Aku melihat wajah Wipa kuning keemasan, seolah memberi tanda padaku, kelak dia akan berubah menjadi begitu berharga seperti kilau emas.
Petangpun datang menjelang, kami pergi ke hotel masing-masing. Besuk pagi Wipa akan pulang ke Bangkok, Thailand melalui Bandara Internasional Ngurah Rai Bali. Sedangkan aku harus mengikuti rombongan pulang ke Ngawi, kota kecil yang terkenal dengan keripik tempenya. Masyarakatnya yang ramah, pekerja keras, tidak kenal lelah meski kadang hanya mendapatkan imbalan beberapa ribu saja dalam sehari. Kembali ke sekolah tempat aku menuntut ilmu, dengan segudang tugas dan PR yang diberikan, juga ulangan harian yang datang bertubi-tubi tak kenal kompromi.
Disamping semua rutinitas yang menuntut kesabaran dan keuletan itu, ada buku wajib yang harus tiap hari kami buka, yaitu “facebook”. Dengan situs jejaring sosial ini aku menjalin komunikasi dengan teman-temanku, termasuk dengan Wipa. Aku telah berfikir sekian kali sebelum bergabung di jejaring sosial ini, karena minimnya pengetahuanku tentang agama. Ada fatwa yang menyatakan facebook itu haram, sehingga mau tidak mau aku harus mempertimbangkannya baik-baik, bukan karena sok suci, sok alim, dsb. tetapi karena minimnya pengetahuanku tentang agama. Sementara dosa yang telah kulakukan seperti hamparan pasir di pantai, rasanya sangat tak tahu diri kalau aku masih saja dengan sengaja menambah dosa-dosaku. Mau jadi apa aku????