“Assalamu ‘alaikum………. Hayo melamun lagi……………”, tiba-tiba Rahma datang membuyarkan lamunanku. Tapi ada apa dia datang ke rumah tempat tinggalku yang reot ini, tanyaku dalam hati.
"Waalaikum salam warohmatullohi wa barokatuh.", aku menjawab seraya bergegas berjalan menuju pintu masuk terbuat dari anyaman bambu usang berwarna coklat kehitaman buah tangan bapakku yang kekar.
"Silakan duduk", ucapku sambil mengulurkan tangan memberi isyarat Rahma tuk masuk dan duduk di tikar terbuat dari anyaman daun pandan yang tumbuh di pinggir sungai dekat rumahku. Sudah beberapa bulan terakhir, dia menggantikan kursi bambu usang, yang telah lapuk dimakan waktu. Tikar berukuran 1,5 X 2,5 meter itu digelar di lantai tanah rumah orang tuaku yang tidak rata, ada benjolan di sana-sini, sehingga ada bagian tertentu yang sobek dan berlubang. Kira-kira 2 minggu ibu menghabiskan malamnya hanya untuk menganyam tikar. Ibuku memang perempuan hebat dan tangguh yang kukenal.
Sebenarnya ada pohon bambu di belakang rumah, tetapi aku dan bapak belum sempat membuat kursi pengganti kursi usangku. Beberapa bulan terakhir ini aku sibuk dengan berbagai ujian di sekolah, mulai dari ujian akhir semester, ujian nasional, ujian akhir sekolah teori, dan ujian akhir sekolah praktik, serta masih ditambah lagi beberapa mata pelajaran yang harus ujian perbaikan. Begitu susahnya untuk mendapat ijasah SMA kebanggaanku dan tentu saja juga kebanggaan orang tuaku.
Sementara bapakku sibuk bekerja demi mendapatkan sesuap nasi untuk kami, ayah, aku, dan ibuku. Disamping itu bapak juga berusaha mengumpulkan uang untuk melunasi SPPku yang menunggak beberapa bulan, ditambah berbagai iuran yang harus kubayar sebagai salah satu syarat mengambil ijasah. Meski di televisi marak iklan pendidikan gratis dan pendidikan murah, ternyata belum berlaku untuk semua orang, setidaknya inilah yang saat ini aku rasakan dan terjadi pada diriku.
Kami duduk saling berhadap-hadapan. Rahma duduk tepat di depanku, entah mengapa hatiku jadi tak menentu. Gelisah, grogi, nervous, dan entah perasaan apa lagi yang merayap, menyelinap perlahan, lalu mengaduk-aduk isi hatiku. Berulang kali aku menggeser perlahan posisi dudukku, lalu mengalihkan perhatian dan pandanganku ke dinding anyaman bambu rumah orang tuaku. Lubang-lubang di dinding itu dengan leluasa mempersilakan angin berhembus sepoi-sepoi membelai wajahku dan wajah Rahma begitu mesranya. Tersenyum dan berbisik manja seolah hendak membisikkan sejuta rayuan cinta dari penghuni surga.
"Apa kabar?", pertanyaan Rahma memecah kesunyian.
"Baik, kamu sendiri?", aku balik bertanya.
"Baik juga." jawabnya lirih.
"Tunggu sebentar ya, kubuatkan minuman."
"Makasih, tapi jangan repot-repot ya", ucapnya lembut.
"Tidak, tidak repot kok. Biasa-biasa saja", jawabku sambil berdiri lalu pergi ke dapur.
Di dapur aku mengumpulkan kayu dan daun pandan kering, lalu membuat api untuk mendidihkan air. Sudah menjadi tradisi turun-temurun kami, selalu menyuguhkan minuman untuk tamu, tentu saja bukan es jus atau es krim dari kulkas, mana mungkin kami punya kulkas. Kami biasa menyajikan teh hangat. Pada awalnya itu sekedar tradisi turun-temurun, hingga akhirnya setelah mengikuti pengajian beberapa waktu lalu, aku jadi tahu bahwa itu adalah merupakan tuntunan agama.
Dalam pengajian tersebut dijelaskan bahwa: Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).
Walau cuma sekedar teh hangat yang bisa dibeli siapapun di warung-warung, tetapi niat memuliakan tamunya itu yang terpenting, sebab niat tersebut tidak akan pernah bisa dibeli siapapun, dimanapun, kapanpun. Kupikir ini adalah tradisi yang harus dilestarikan karena ternyata sesuai dengan tuntunan agama.
Sambil menunggu air mendidih, aku menyiapkan 2 gelas kosong, lalu kuberikan gula dan teh tubruk. Tak lama kemudian air pun mendidih, kutuang perlahan ke gelas, lalu kuaduk menggunakan sendok teh stainless yang sudah mulai kusam warnanya. Klitik, klitik, klitik, ............ bunyi khas pun terdengar, maklum laki-laki tidak bisa mengaduk tanpa menimbulkan bunyi.