Mohon tunggu...
Fajar setiono
Fajar setiono Mohon Tunggu... Buruh - copywriter

Selalu bersyukur atas apa yang kita dapatkan.Jangan pernah menyerah sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan.Selalu semangat dan pantang menyerah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sore yang Aneh di Taman Kota

3 September 2024   10:27 Diperbarui: 3 September 2024   10:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu, langit cerah dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja. Taman itu tak pernah sepi, selalu ada orang-orang yang berolahraga, pasangan yang berjalan bergandengan tangan, atau anak-anak yang bermain riang.

Tapi sore itu, ada sesuatu yang aneh. Di sudut taman yang biasanya dipenuhi bunga-bunga warna-warni, kulihat seorang pria tua duduk di bangku kayu, memegang sehelai kertas yang tampak usang. Wajahnya serius, hampir tanpa ekspresi, dan matanya terpaku pada kertas itu. Sesuatu tentangnya membuatku penasaran.

Aku mencoba mengabaikannya dan melanjutkan berjalan, tetapi entah kenapa, langkahku malah mengarah ke bangku di sebelahnya. Tanpa sadar, aku duduk dan menyapa, "Selamat sore, Pak."

Pria tua itu menoleh perlahan, mengangguk singkat, dan kembali menatap kertas di tangannya. "Selamat sore," jawabnya pelan, suaranya serak seperti jarang dipakai.

Karena keheningan terasa canggung, aku iseng bertanya, "Sedang membaca apa, Pak?"

Dia menatapku, seolah menimbang-nimbang sebelum akhirnya memberikan kertas itu kepadaku. "Ini... surat dari masa depan," katanya dengan nada datar.

Aku tersenyum, mengira dia bercanda. "Surat dari masa depan? Serius, Pak?"

Dia hanya mengangguk lagi, tanpa seulas senyum. "Coba baca."

Dengan rasa penasaran yang kian besar, aku mulai membaca kertas itu. Isinya membuatku terdiam. Di sana tertulis dengan jelas: **"Besok, saat jam menunjukkan pukul 18:45, kamu akan menemukan dirimu berada di tempat yang tidak terduga. Jangan panik, dan ingatlah bahwa takdir sudah ditentukan."**

Aku memandang pria tua itu, setengah berharap ini hanya lelucon. "Ini apa maksudnya, Pak? Surat ini untuk siapa?"

Pria itu menghela napas panjang. "Itu untukmu."

Deg! Jantungku berdegup kencang. "Untukku? Tapi, bagaimana mungkin?"

Dia tidak menjawab, hanya berdiri perlahan, mengembalikan kertas itu padaku. "Waktu akan menjawabnya. Jangan lupa, 18:45."

Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, dia berjalan menjauh dengan langkah pelan, meninggalkan aku yang masih kebingungan. Aku mencoba mengejarnya, tapi tiba-tiba, sekelilingku terasa berubah. Taman itu menjadi lebih sunyi, dan ketika aku menoleh kembali ke arah pria tua itu, dia sudah tidak ada.

Setelah kejadian itu, sepanjang malam aku tak bisa tidur. Pikiranku terus memutar kata-kata pria tua itu. Esoknya, aku mengatur jadwalku untuk tidak melewatkan pukul 18:45. Ketika waktu itu tiba, aku berada di kamarku, menunggu dengan hati was-was.

Tepat pukul 18:45, lampu di kamarku padam. Aku terkejut, tapi ingat pesan pria tua itu: "Jangan panik." Aku berusaha tenang, dan tiba-tiba, ada suara pintu yang terbuka. Aku menoleh ke arah pintu dan melihat... diriku sendiri. Diriku yang lebih tua, dengan rambut yang memutih dan wajah yang dipenuhi keriput, seperti pria tua di taman kemarin.

"Aku adalah kamu dari masa depan," katanya, suaranya sama seraknya. "Dan aku di sini untuk memberitahumu satu hal penting."

Aku terdiam, terpaku pada sosok di depanku. "Apa itu?"

"Besok, saat jam menunjukkan pukul 18:45, kamu akan menemukan dirimu berada di tempat yang tidak terduga. Jangan panik, dan ingatlah bahwa takdir sudah ditentukan."

Sebelum aku bisa bereaksi, lampu di kamarku menyala kembali, dan sosok itu menghilang, seperti tak pernah ada. Aku berdiri di sana, memegang kertas yang diberikan pria tua itu kemarin, dan menyadari bahwa aku baru saja mengulang siklus yang akan terus berulang, tanpa henti. 

Aku tertawa kecil, kali ini dengan pengertian. Rupanya, masa depan tidak pernah benar-benar terduga. Dan aku, hanya menjalani apa yang telah ditentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun