Deg! Jantungku berdegup kencang. "Untukku? Tapi, bagaimana mungkin?"
Dia tidak menjawab, hanya berdiri perlahan, mengembalikan kertas itu padaku. "Waktu akan menjawabnya. Jangan lupa, 18:45."
Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, dia berjalan menjauh dengan langkah pelan, meninggalkan aku yang masih kebingungan. Aku mencoba mengejarnya, tapi tiba-tiba, sekelilingku terasa berubah. Taman itu menjadi lebih sunyi, dan ketika aku menoleh kembali ke arah pria tua itu, dia sudah tidak ada.
Setelah kejadian itu, sepanjang malam aku tak bisa tidur. Pikiranku terus memutar kata-kata pria tua itu. Esoknya, aku mengatur jadwalku untuk tidak melewatkan pukul 18:45. Ketika waktu itu tiba, aku berada di kamarku, menunggu dengan hati was-was.
Tepat pukul 18:45, lampu di kamarku padam. Aku terkejut, tapi ingat pesan pria tua itu: "Jangan panik." Aku berusaha tenang, dan tiba-tiba, ada suara pintu yang terbuka. Aku menoleh ke arah pintu dan melihat... diriku sendiri. Diriku yang lebih tua, dengan rambut yang memutih dan wajah yang dipenuhi keriput, seperti pria tua di taman kemarin.
"Aku adalah kamu dari masa depan," katanya, suaranya sama seraknya. "Dan aku di sini untuk memberitahumu satu hal penting."
Aku terdiam, terpaku pada sosok di depanku. "Apa itu?"
"Besok, saat jam menunjukkan pukul 18:45, kamu akan menemukan dirimu berada di tempat yang tidak terduga. Jangan panik, dan ingatlah bahwa takdir sudah ditentukan."
Sebelum aku bisa bereaksi, lampu di kamarku menyala kembali, dan sosok itu menghilang, seperti tak pernah ada. Aku berdiri di sana, memegang kertas yang diberikan pria tua itu kemarin, dan menyadari bahwa aku baru saja mengulang siklus yang akan terus berulang, tanpa henti.Â
Aku tertawa kecil, kali ini dengan pengertian. Rupanya, masa depan tidak pernah benar-benar terduga. Dan aku, hanya menjalani apa yang telah ditentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H