“Fik, mau ikut gak sore sekarang?”
“Kemana?”
“Aku sama temen-temen mau touring ke puncak, nanti di sana kita berendam di pemandian air panas, terus kita nyewa vila dan seneng-seneng malam ini, gimana?”
“Maaf Gus, tapi aku gak bisa, soalnya uang lagi gak ada, motor juga gak punya.” kuharap Bagus bisa mengerti.
“Yah gimana sih loe, tiap diajakin pasti gitu aja alesannya, kamu keki sama aku heh Fik?” mulai lagi cemoohannya bagaikan badai gurun di siang hari menerpa wajahku.
“Beneran Gus aku gak bohong, keki apaan? enggak ah.”
“Ah dasar si 'gak punya uang', miskin emang rese. Disini eman gini kehidupannya Fikri Aprianto, kamu kalo emang gak suka kehidupan kayak gini, mendingan pindah aja. Banyak kok kampus yang nerima anak beasiswa kayak kamu.” cemooh Bagus dan langsung pergi sambil menyeringai padaku. Menghisap rokok tentunya.
Kata “si gak punya uang” dan “miskin emang rese” menyayat hatiku. Aku segera ber-istighfar agar tidak timbul rasa benci dari sakit hati ini.
“Sabar ya Fik, aku juga sama kayak kamu. Kata-kata si Bagus tadi juga bikin aku sakit hati.” sahabatku menenangkan.
“Sudah biasa dia kayak gitu padaku, aku pulang dulu ya, udah jam 12.30. Laper nih, perut udah nuntut.”
Aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa naik angkot, tapi kalau pulang tanpa ngetem.