Sekarang anak saya sudah berumur dua tahun enam bulan. Masa dimana jengkelnya orangtua mulai menyeruak melihat perkembangan anak. Emosi kadang muncul baik dari bapak maupun ibunya. Tetapi alhamdulillah kami punya rem yang cukup pakem untuk meredamnya.Â
Jadi begini, kami menikah di pertengahan tahun 2011. Sedari awal kami sudah sepakat untuk segera memiliki momongan. Kebetulan kami perantau dari Jawa, istri Jawa Timur saya Yogyakarta. Â
Setelah rangkaian acara pernikahan kami selesai, semua kembali ke aktivitas masing-masing. Yang membedakan hanyalah sekarang kami tinggal sekontrakan. Kebetulan istri tempat kerjanya lebih jauh jadi terpaksa ikut saya.Â
Manisnya pasangan baru cukup kami nikmati. Kami berdua bekerja, sehingga secara materi kami merasa ada sedikit lebih untuk sekadar jajan. Karena termasuk bagian dari sekrup kapitalis, gaji kami tidaklah besar, tetapi karena digabung dan hanya dimakan berdua jadilah cukup untuk bersenang-senang ala kami.Â
Namun semua itu pelan-pelan menjadi hambar. Enam bulan pasca pernikahan istri belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Tangis isteri setiap datang bulan menghiasi kehidupan kami. Kami mulai terpaksa sadar ada sesuatu yang perlu kami ketahui secara benar permasalahan apa yang ada di keluarga kami.
Isteri terpaksa berhenti bekerja sebagai langkah awal perbaikan. Jauhnya tempat kerja cukup menjadi alasan karena kelelahan sehingga tak kunjung hamil. Kami mulai rajin mencari informasi mengenai kehamilan. Banyak yang kami dapat dari mulai pengecekan suhu basal sampai segala permasalahan pada suami maupun isteri. Sembari mencari informasi kami juga mendengar saran dari teman-teman yang lebih berpengalaman.
Pergi ke tukang urut rahim adalah langkah pertama kami. Dari sekian banyak tukang urut semuanya menyatakan tidak ada masalah. Kami cukup lega mendengarnya, dan mereka selalu bilang "sabar nanti juga dikasih, orang ga ada masalah kok".
Masih mengikuti anjuran orang-orang, kami pergi ke tukang urut tetapi yang juga memberikan jamu herbal. Kami cukup antusias karena nasihatnya sangat meyakinkan. Beberapa kali kami pergi urut dan minum jamunya, tetapi belum juga ada hasil kamipun memutuskan berhenti sejenak.
Ada fase dimana kami merasa jenuh dengan usaha yang kami lakukan padahal usia pernikaham kami baru satu tahun lebih. Kami belum ada apa-apanya dibandingkan dengan pasangan lain yang jauh lebih lama. Yang sering kami dengar adalah nasihat bahwa masih ada yang lebih lama dari kami. Kami memahami dan semangat itupun muncul kembali.Â
Memasuki satu tahun lebih usia pernikahan, kami memberanikan diri konsultasi ke dokter kandungan. Singkat cerita kami berdua ternyata punya masalah masing-masing. Atas saran dokter kami melanjutkan pengecekan lanjutan agar hasilnya lebih akurat. Dari hasil tes laboratorium permasalahan porsinya lebih besar ada di suami.
Ada pukulan mental yang cukup berat buat kami terutama suami. Perlu waktu lebih dari satu bulan untuk berdamai dengan kenyataan. Pada kondisi ini peran isteri sangat besar dalam mengembalikan mental yang sudah jatuh. Dia memberi banyak masukan agar fikiran tetap positif dan jangan sampai stress.Â
Tahun 2013 kami sudah mampu untuk mencicil rumah. Kamipun pindah dari kontrakan ke rumah baru dengan semangat suasana baru harapan baru. Di tempat baru kami kembali mengalami fase penurunan mental. Teman-teman kami yang baru saja menikah sudah diberi momongan. Belum lagi tetangga baru kami akhirnya tahu kami belum punya anak. Rasa minder itu sepertinya datang secara alami meskipun semua pasti selalu menjaga perasaan kami.
Karena kami perantau, setiap lebaran kami pasti pulang. Anak adalah hal yang pertama ditanyakan dan kami juga selalu berusaha tenang menjawab meskipun sebenarnya batin kami menangis. Tak ada kebahagiaan yang paling tinggi ketika sudah menikah dan memiliki anak. Berapa besar gajimu, apa kendaraanmu, dan seberapa megah rumahmu tak ada artinya jika belum diberi momongan.
Kami bersyukur kedua keluarga kami tidak terlalu rewel menyakan usaha kami mendapatkan momongan. Mereka juga berbagi pengalaman bagaimana cara mereka dikaruniai anak. Tak lupa momen pulang kampung juga kami manfaatkan untuk berikhtiar.
Tepatnya pada tahun 2014 kami pulang ke Jawa Timur. Kami berkunjung ke orang pintar tetapi menggunakan media obat herbal untuk terapinya. Kami dinasihati untuk sabar dalam menjalani proses ini. Jangan pernah berharap seperti makan cabai yang pedasnya langsung terasa.
Beliau bilang perlu waktu untuk memperbaiki hormon di tubuh kami sehingga masalah yang kami miliki bisa diobati. Kami mengonsumsi obat herbal tersebut sekitar tiga bulan. Obat tersebut dikirim dari Jawa Timur ke tempat tinggal kami di daerah Cileungsi. Jujur kami kembali jenuh dengan agenda rutin minum obat setiap hari. Kami putuskan berhenti  dan kami kembali menata hati kami.
Kami lebih mencoba untuk mengatur psikis kami agar lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Banyak hal menyenangkan yang kami lakukan untuk membuka ruang bahagia di otak kami. Sembari jalan kami bertemu dengan teman kerja yang ternyata rumahnya tidak jauh dari tempat kami. Beliau dikenal sebagai orang pintar tetapi tidak menonjolkan kepintarannya.
Kebetulan beliau berasal dari Jawa Timur sama dengan isteri hanya beda kabupaten. Kami ngobrol dengan sangat cair dan semua masalah kami ceritakan. Ada saran untuk meminum jamu (kami lupa tepatnya tetapi antara kunir dan kencur). Hanya itu saja selebihnya seperti saran pada umumnya untuk sabar dan tetap berusaha.
Tidak berselang lama ada kabar kehamilan dari temannya isteri. Tetapi yang ini berbeda karena bukan lama tetapi teman baru. Beliau termasuk orang yang menjadi tempat curhat istri. Beliau berseloroh selalu berdoa agar isteriku segera hamil, tetapi malah dia duluan yang hamil. Isteri senang mendengarnya karena sudah ikut didoakan.
Tiga bulan setelahnya istri cerita kalau  dia bermimpi seperti berada di puncak gunung dan dia melihat banyak orang di bawah. Entah kebetulan atau tidak pada saat itu istri belum juga datang bulan padahal seharusnya sudah. Kami sepakat untuk tidak terlalu berlebihan menyikapinya karena beberapa kali kejadian ternyata hanya mundur waktu haidnya.
Setelah kami tunggu sekitar seminggu kami memberanikan diri untuk membeli test pack. Esok paginya saya dibangunkan isteri dengan membawa hasil testnya. Seketika tangis haru mewarnai rumah kami. Apa yang kami tunggu akhirnya datang juga.
Orang-orang dekat kami beri kabar. Termasuk teman isteri yang sudah hamil tiga bulan. Terlihat keduanya begitu bahagia dengan kehamilannya. Tak lupa kami berkunjung kembali ke teman kerja kami yang memberi saran terakhir. Kami ceritakan mimpi yang dialami istri. Tidak banyak yang dikatakan hanya memberi tahu kalau kami sudah diberi hadiah atas hasil jerih payah selama ini. Akhirnya anak kami lahir pada bulan mei 2016. Seperti sebuah puzzle yang hilang,dia melengkapinya dengan sempurna.
Inilah yang kami sebut dengan rem di awal tulisan ini. Kami selalu mengingat perjuangan kami mendapatkannya pada saat rasa jengkel muncul melihat polah tingkahnya. Jika sudah seperti itu kami pasti kembali dingin.
Yang ingin saya bagikan disini adalah, beranikan diri untuk melakukan pengecekan secara medis. Ini berlaku untuk suami dan isteri karena untuk mendapatkan keturunan itu harus dilakukan berdua tidak bisa dilakukan sendiri. Jika pengecekan hanya dilakukan sebelah (biasanya istri) itu tidak akan menyelesaikan maslah secara tuntas.
Bagi suami tidak perlu merasa takut kalau tujuannya untuk memiliki anak. Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya tetapi yang paling penting adalah memulainya. Jika sudah berani memulai kemudian segera ikhlaskan jika memang ada masalah.
Jika suami dan istri sudah bisa berdamai dengan masalahnya masing-masing, cepat atau lambat momongan yang didambakan akan segera hadir. Tuhan pasti melihat sejauh mana usaha kita untuk mencapai tujuan tersebut dan ketika tuhan sudah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin. Semoga cerita kami ini bermanfaat.
Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H