Tahun 2013 kami sudah mampu untuk mencicil rumah. Kamipun pindah dari kontrakan ke rumah baru dengan semangat suasana baru harapan baru. Di tempat baru kami kembali mengalami fase penurunan mental. Teman-teman kami yang baru saja menikah sudah diberi momongan. Belum lagi tetangga baru kami akhirnya tahu kami belum punya anak. Rasa minder itu sepertinya datang secara alami meskipun semua pasti selalu menjaga perasaan kami.
Karena kami perantau, setiap lebaran kami pasti pulang. Anak adalah hal yang pertama ditanyakan dan kami juga selalu berusaha tenang menjawab meskipun sebenarnya batin kami menangis. Tak ada kebahagiaan yang paling tinggi ketika sudah menikah dan memiliki anak. Berapa besar gajimu, apa kendaraanmu, dan seberapa megah rumahmu tak ada artinya jika belum diberi momongan.
Kami bersyukur kedua keluarga kami tidak terlalu rewel menyakan usaha kami mendapatkan momongan. Mereka juga berbagi pengalaman bagaimana cara mereka dikaruniai anak. Tak lupa momen pulang kampung juga kami manfaatkan untuk berikhtiar.
Tepatnya pada tahun 2014 kami pulang ke Jawa Timur. Kami berkunjung ke orang pintar tetapi menggunakan media obat herbal untuk terapinya. Kami dinasihati untuk sabar dalam menjalani proses ini. Jangan pernah berharap seperti makan cabai yang pedasnya langsung terasa.
Beliau bilang perlu waktu untuk memperbaiki hormon di tubuh kami sehingga masalah yang kami miliki bisa diobati. Kami mengonsumsi obat herbal tersebut sekitar tiga bulan. Obat tersebut dikirim dari Jawa Timur ke tempat tinggal kami di daerah Cileungsi. Jujur kami kembali jenuh dengan agenda rutin minum obat setiap hari. Kami putuskan berhenti  dan kami kembali menata hati kami.
Kami lebih mencoba untuk mengatur psikis kami agar lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Banyak hal menyenangkan yang kami lakukan untuk membuka ruang bahagia di otak kami. Sembari jalan kami bertemu dengan teman kerja yang ternyata rumahnya tidak jauh dari tempat kami. Beliau dikenal sebagai orang pintar tetapi tidak menonjolkan kepintarannya.
Kebetulan beliau berasal dari Jawa Timur sama dengan isteri hanya beda kabupaten. Kami ngobrol dengan sangat cair dan semua masalah kami ceritakan. Ada saran untuk meminum jamu (kami lupa tepatnya tetapi antara kunir dan kencur). Hanya itu saja selebihnya seperti saran pada umumnya untuk sabar dan tetap berusaha.
Tidak berselang lama ada kabar kehamilan dari temannya isteri. Tetapi yang ini berbeda karena bukan lama tetapi teman baru. Beliau termasuk orang yang menjadi tempat curhat istri. Beliau berseloroh selalu berdoa agar isteriku segera hamil, tetapi malah dia duluan yang hamil. Isteri senang mendengarnya karena sudah ikut didoakan.
Tiga bulan setelahnya istri cerita kalau  dia bermimpi seperti berada di puncak gunung dan dia melihat banyak orang di bawah. Entah kebetulan atau tidak pada saat itu istri belum juga datang bulan padahal seharusnya sudah. Kami sepakat untuk tidak terlalu berlebihan menyikapinya karena beberapa kali kejadian ternyata hanya mundur waktu haidnya.
Setelah kami tunggu sekitar seminggu kami memberanikan diri untuk membeli test pack. Esok paginya saya dibangunkan isteri dengan membawa hasil testnya. Seketika tangis haru mewarnai rumah kami. Apa yang kami tunggu akhirnya datang juga.
Orang-orang dekat kami beri kabar. Termasuk teman isteri yang sudah hamil tiga bulan. Terlihat keduanya begitu bahagia dengan kehamilannya. Tak lupa kami berkunjung kembali ke teman kerja kami yang memberi saran terakhir. Kami ceritakan mimpi yang dialami istri. Tidak banyak yang dikatakan hanya memberi tahu kalau kami sudah diberi hadiah atas hasil jerih payah selama ini. Akhirnya anak kami lahir pada bulan mei 2016. Seperti sebuah puzzle yang hilang,dia melengkapinya dengan sempurna.