Asep 20 tahun, pemuda desa lulusan SMA itu harus berpeluh-peluh memotong padi pak Haji saat panen tiba. Terkadang waktu istirahatnya tersita untuk merontokkan bulir padi yang ia lakukan malam hari. Siang memotong padi sedangkan malamnya ia lakukan untuk merontokkan bulirnya. Sesekali disela sela pekerjaannya ketika capek dan ngantuk melanda, ia sempatkan untuk istirahat sejenak sampil menyeruput kopi yang ia bawa sendiri dari rumah. Hampir seluruh anggota keluarganya adalah buruh tani. Bapak, ibu, kecuali adik-adiknya yang masih sekolah. Semenjak ayahnya meninggal kecelakaan karena mobil bak terbuka yang ia tumpangi bersama 30 warga sekampung terguling saat pergi mengambil dana BLT di kecamatan, ia harus menanggung beban ekonomi keluarga. Ibunya yang sakit-sakitan tak bisa lagi sepenuhnya bekerja seperti saat masih muda dulu. Cita-citanya semenjak SMP untuk kuliah pertanian tak lagi ia hiraukan di tengah kalutya pikiran bagaimana ia bisa membiayai keluarga dan sekolah adik-adiknya minimal sampai SMA.
Sebenarnya Asep adalah seorang anak yang cerdas, ia mampu membuat perencanaan system irigasi yang cukup efisien dan adil bagi para pemilik sawah di desanya. Tapi karena Pak Lurah sangsi akan kemampuannya, rencana itu pun berhenti di tengah jalan.
Di sela kehidupannya yang keras, ia ditemani sahabat seperjuangan yang sering ia ajak ngobrol tentang permasalahan yang dihadapi. Ialah Karmin, umurnya setahun lebih tua, seorang residivis yang setahun lalu keluar penjara karena membacok Pandi juragan sawah yang angkuh. Saat itu ia dapati bapaknya ribut dengan Pandi karena berebut air irigasi yang seharusnya pagi itu giliran bapaknya. Tak terima bapaknya dimaki-maki, Karmin pulang dengan golok di tangan dan serta merta ia layangkan golok itu tepat di pelipis Pandi. Seketika Pandi roboh tapi Alhamdulilah nyawanya masih tertolong namun Karmin harus mendekam di ruang pesakitan itu selama lima bulan. Ini adalah kasus kedua ia di penjara. Kasus pertama saat Karmin masih duduk di bangku sekolah lantaran menjual ganja. Terpaksa ia lakukan sebab waktu itu bapaknya gagal panen hingga dililit utang yang cukup banyak sementara ia harus membayar uang ujian yang tak lama lagi berlangsung. Tiga bulan ia harus mendakam di bui plus wajib lapor selama dua bulan. Ini dilakukan karena Karmin masih dibawah umur dan masih sekolah. Oleh karena itu Pengadilan memberikan kompensasi hukuman.
Karmin bekerja sebagai sopir angkot milik juragan Hasmi. Setelah dua kali dipenjara ia kapok. Tak lagi ia sembarangan dalam bertindak. Kini ia mulai dewasa dan sadar akan tanggung jawabnya. Sopir angkot menjadi pilihan setelah beberapa kali melamar sales ditolak. Skill menyetir yang ia peroleh otodidak akhirnya bisa membantunya mendapat pekerjaan walaupun hanya sebagai sopir angkot. Tapi tak apalah katanya, yang penting bisa bekerja.
Tak beda seperti Asep, Karmin lahir dari keluarga miskin. Bapaknya adalah petani pengarap sawah yang berpenghasilan kecil. Upahnya hanya bisa ia gunakan untuk makan sehari-hari. Sedangkan ibunya hanya buruh cuci yang sewaktu-waktu dipanggil, tidak setiap hari. Semenjak menjamurnya mesin cuci merk cina yang murah, pekerjaan ibunya menjadi kian sepi saja. Para tetangga berbondong-bondong ke toko elektronik untuk membeli mesin cuci dan selanjutnya tidak lagi memanggil buruh cuci seperti Ibu Karmin.
Karmin adalah anak kedua dari lima bersaudara. Kakaknya perempuan Minah pergi ke Abu Dhabi menjadi TKW. Sudah setahun setengah semenjak pergi, jarang sekali kabar berita. Hanya sekali ketika Minah sampai ke Abu Dhabi setelah itu tak ada berita lagi. Adiknya tiga, dua laki-laki dan si bungsu perempuan. Ketiganya masih sekolah, yang laki-laki masih SMP dan yang perempuan SD. Minah hanya sekali kirim uang ke keluarga, sehingga sekarang selain bapaknya, yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Karmin. Ibunya tak tentu bekerja, ketika tidak ada panggilan menuci, ia dirumah urus adik-adiknya.
Keluarga Karmin cukup sadar pendidikan. Orangtuanya sangat bersemangat menyekolahkan anak-anaknya sekalipun hanya sampai SMA. Darah itu sebenarnya mengalir pada diri Karmin, namun karena tekanan keadaan, sempat ia jual ganja demi ikut Ujian Nasional. Selain itu, ia sisihkan uang hasil ”narik” untuk biaya sekolah adik-adiknya.
Di sebelah kampung mereka berdua berdiri megah kantor pemerintah yang cukup terkenal. Kantor itu mengurusi kaitannya dengan per-beras-an Nasional. Boleh dikatakan salah satu cabang gudang beras di Indonesia. Kantor tersebut membeli beras dari petani langsung kemudian menjualnya ke pasaran.
Pak Sutopo adalah kepala kantor tersebut. Dibawahnya ada Pak Budi sebagai Kepala Seksi Perlengkapan dan Pak Dadan sebagai Kepala Seksi yang berhubungan dengan jual beli beras petani tak taulah apa namanya, yang jelas Pak Dadan ini cukup populer di kalangan petani. Satu lagi Bu Monik Kepala Tata Usaha yang mengurusi administrasi kantor. Karyawannya enam puluh orang PNS semuanya yang berasal dari luar daerah, ada satu dua orang dari kampung sekitar itupun hanya kuli panggul beras tapi sudah diangkat menjadi PNS dengan golongan rendah yang hanya bisa dimarahi atasan jika tak becus mengurusi karung-karung beras.
Kantor tersebut dikatakan instansi yang cukup ’basah’ . Artinya banyak aliran-aliran dana tidak resmi yang masuk kantong pejabat. Mengetahui kondisi kantor demikian, pegawai tak tinggal diam. Mereka dengan segala cara setidaknya harus menikmati uang tersebut. Mark up lah, perjalanan fiktif lah, atau yang lain yang penting ia dapat jatah uang segar itu. Seringkali terjadi gesekan antar pegawai lantaran berebut uang yang dibungkus dengan alasan kesejahteraan rakyat, pelayanan masyarakat dan lain sebagainya atas nama rakyat.
Setali tiga uang dengan anak buahnya, para bejabat di kantor tersebut sama-sama rakus. Uang penghasilan bukan pajak yang harusnya disetorkan ke negara mereka makan. Tak heran jika penampilan mereka perlente, mobil bagus dengan gaya hidup mewah.
Namun tidak semua karyawan di kantor tersebut rakus. Ada sebagian pegawai muda yang idealis pro perubahan. Namun jumlah mereka sedikit dan rata-rata miskin pengalaman, sehingga apapun langkah yang mereka lakukan untuk merubah sistem yang ada, dapat diganjal dengan mudah oleh senior-senior sinuhun di kantor tersebut. Mereka para pegawai muda pun frustasi dan memutuskan untuk sekolah tugas belajar, sehingga sepulangnya mereka kuliah harapannya ada sedikit perubahan sistem pada instansi tersebut. Apa mau dikata, senioritas buta memaksa mereka untu tetap inggal di kantor antah berantah tersebut. Atas kebijakan kepala kantor atau ketidakbijakan ya…. yang diberangkatkan adalah pegawai yang telah lama bekerja di instansi tersebut tanpa melalui persaingan yang fair.
Kepala mematuk bawahannya, bawahannya mematuk stafnya, stafnya mematuk anak buahnya sampai anak buah hanya bisa mematuk tanah terus menerus hingga mati kelelahan. Sepertinya konsep ini masih melekat pada sistem kantor beras ini. Akhirnya diam seperti tidurnya ashabul kahfi menjadi jalan keluar terbaik bagi para pegawai muda ini.
Semenjak berdirinya kantor tersebut sepuluh tahun yang lalu, masyarakat serasa tidak merasakan perannya. Harga gabah masih saja dipermainkan tengkulak. Usut punya usut ternyata ada kongkalikong pegawai dengan tengkulak. Jadi dalam laporan kantor tersebut membeli dari petani namun nyatanya tengkulak yang dijadikan mitra. Komplek perumahan karyawan dikelilingi tembok yang membatasi kawasan dengan masyarakat sekitar. Tersirat inilah kawasan orang kaya dan orang miskin yang pada tembok terpampang tulisan ”orang miskin dilarang masuk”. Tak ayal banyak pencurian di komplek tersebut. Pencurian yang terpaksa sebagai reaksi keangkuhan para pejabat. Sepuluh tahun sudah berdiri, masyarakat masih saja miskin, tak ada perubahan. Karmin dan Asep contohnya. Dua sahabat yang jutaan jumlahnya di negeri ini. Atau pegawai muda di kantor itu, yang tak berdaya diporakporandakan sistem. Mereka mati di lumbung padi…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H