Mohon tunggu...
Fajar Nugroho
Fajar Nugroho Mohon Tunggu... -

Bapak dengan dua orang anak, mengabdi untuk pendidikan\r\n\r\nwww.fajaralayyubi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati di Lumbung Padi

5 November 2012   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namun tidak semua karyawan di kantor tersebut rakus. Ada sebagian pegawai muda yang idealis pro perubahan. Namun jumlah mereka sedikit dan rata-rata miskin pengalaman, sehingga apapun langkah yang mereka lakukan untuk merubah sistem yang ada, dapat diganjal dengan mudah oleh senior-senior sinuhun di kantor tersebut. Mereka para pegawai muda pun frustasi dan memutuskan untuk sekolah tugas belajar, sehingga sepulangnya mereka kuliah harapannya ada sedikit perubahan sistem pada instansi tersebut. Apa mau dikata, senioritas buta memaksa mereka untu tetap inggal di kantor antah berantah tersebut. Atas kebijakan kepala kantor atau ketidakbijakan ya…. yang diberangkatkan adalah pegawai yang telah lama bekerja di instansi tersebut tanpa melalui persaingan yang fair.

Kepala mematuk bawahannya, bawahannya mematuk stafnya, stafnya mematuk anak buahnya sampai anak buah hanya bisa mematuk tanah terus menerus hingga mati kelelahan. Sepertinya konsep ini masih melekat pada sistem kantor beras ini. Akhirnya diam seperti tidurnya ashabul kahfi menjadi jalan keluar terbaik bagi para pegawai muda ini.

Semenjak berdirinya kantor tersebut sepuluh tahun yang lalu, masyarakat serasa tidak merasakan perannya. Harga gabah masih saja dipermainkan tengkulak. Usut punya usut ternyata ada kongkalikong pegawai dengan tengkulak. Jadi dalam laporan kantor tersebut membeli dari petani namun nyatanya tengkulak yang dijadikan mitra. Komplek perumahan karyawan dikelilingi tembok yang membatasi kawasan dengan masyarakat sekitar. Tersirat inilah kawasan orang kaya dan orang miskin yang pada tembok terpampang tulisan ”orang miskin dilarang masuk”. Tak ayal banyak pencurian di komplek tersebut. Pencurian yang terpaksa sebagai reaksi keangkuhan para pejabat. Sepuluh tahun sudah berdiri, masyarakat masih saja miskin, tak ada perubahan. Karmin dan Asep contohnya. Dua sahabat yang jutaan jumlahnya di negeri ini. Atau pegawai muda di kantor itu, yang tak berdaya diporakporandakan sistem. Mereka mati di lumbung padi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun