Mohon tunggu...
Fajar Dwi Cahyaningrum
Fajar Dwi Cahyaningrum Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta Timur

Selanjutnya

Tutup

Book

Apresiasi Karya Melalui Teks Ulasan

10 Maret 2023   15:45 Diperbarui: 10 Maret 2023   15:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup harus tetap berjalan. Srintil kini telah menjadi ronggeng ternama. Makin hari nama Srintil makin dikenal oleh seluruh warga dari penjuru kota. Pundi-pundi harta, ketenaran, dan daya pikat telah dimiliki oleh Srintil. Namun semuanya juga tidak ada gunanya karena semua itu tidak mampu membawa Rasus kembali ke pelukannya.

Cerita "Ronggeng Dukuh Paruk" disajikan dengan menarik. Penggunaan bahasa sehari-hari khas Ahmad Tohari membuat pembaca dengan mudah memahami setiap cerita. Jalan cerita dijelaskan dengan rinci dan urut. Selain itu, penggambaran watak tokoh dan latar (waktu, tempat dan suasana) dideskripsikan melalui kutipan langsung maupun dialog antartokoh sehingga membuat pembaca mendapatkan visualisasi dengan jelas.

Cerita dengan latar pedesaan ini juga mengisahkan tentang budaya masyarakat khususnya kesenian yang dibalut dengan kepercayaan pada roh leluhur. Baik kesenian sebagai kekayaan budaya sampai kesenian sebagai komunikasi antar masyarakat dengan leluhur desa. Hal ini memberikan wawasan bagi para pembaca tentang kesenian yang lahir dari nenek moyang.

Sisi lain dari novel ini adalah cerita tentang eksploitasi anak di bawah umur. Dikisahkan Srintil dijadikan seorang ronggeng di usianya yang baru menginjak remaja. Nenek dan kakeknya mendapatkan banyak uang dan emas karena Srintil menjadi penari ronggeng. Selain itu, pemikiran Srintil tentang pernikahan di usianya yang masih belia dianggap tidak lagi sejalan dengan kehidupan di zaman ini.

Meskipun demikian, novel karya Ahmad Tohari ini menjadi salah satu novelnya yang diangkat menjadi film layar lebar. Sayangnya, baik film maupun novel yang telah diterbitkan keduanya kurang cocok jika dibaca oleh siswa dari tingkat dasar sampai tingkat atas. Sebaiknya, novel ini dibaca oleh mahasiswa tingkat lanjut sebagai bahan referensi membaca maupun sebagai pelengkap koleksi novel.

Pengulas         : Fajar Dwi Cahyaningrum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun