Besar kemungkinan mereka gagal memahami materi aturan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 70 dan Pereaturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 Pasal 61 terkait kampanye pejabat negara atau kepala daerah yang ikut kontes Pilkada. Yang perlu digarisbawahi dari ketentuan pasal-pasal itu adalah bahwa wali kota atau wakil wali kota dapat ikut kampanye dengan mengajukan izin cuti kampanye.
Mengenai lamanya kampanye, ayat (2) pasal itu menyebutkan bahwa “pengaturan lama cuti dan jadwal cuti memerhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah daerah”. Artinya, pasal itu menegaskan bahwa wali kota atau wakil wali kota tidak harus melepas jabatannya serta meninggalkan tugas-tugas yang melekat padanya saat masuk tahapan kampanye. Yang diperlukan hanyalah mereka mengajukan cuti kampanye ketika ingin melaksanakan kampanye. Mereka tidak harus cuti selama masa kampanye.
Ketentuan cuti kemudian diperkuat oleh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pembagian Tugas Aparatur Sipil Negara. Wali kota dan wakil wali kota dalam mengajukan cuti hendaknya dilakukan bergantian agar tidak ada kekosongan kepemimpinan. Di sini yang harus dan perlu diperhatikan adalah keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah daerah, seperti tertuang dalam bunyi pasal di atas.
Oleh karena itu, jika aktivitas Airin dan Benyamin dalam menjalankan roda pemerintahan di masa kampanye kemudian dituduh pelanggaran kampanye, maka jelas tuduhan itu tak mendasar. Apalagi dalam aktivitas itu tidak ada hal-hal yang masuk dalam unsur-unsur kampanye seperti ajakan dukung-mendukung, alat peraga, dan sebagainya.
Entah logika hukum apa yang digunakan pihak pelapor sehingga aktivitas Airin dan Benyamin selaku Wali Kota dan Wakil Wali Kota terus dilaporkan. Laporan serupa itu diperkirakan akan terus mengalir meski peraturan telah memberi ketentuan tegas dan distingtif, serta Panwas sebelumnya telah mementahkan laporan serupa. Di sinilah menurut hemat penulis, laporan itu cenderung mengada-mengada. Bahkan terlihat jurus cakar maut yang diniatkan untuk mendiskualifikasi lawan.
Miskin Visi
Hal yang paling disayangkan di balik maraknya laporan itu adalah semua kandidat lupa mengedepankan visi dan programnya kepada pemilih. Selama masa kampanye, masing-masing hanya sibuk dengan urusan lapor melapor berikut menyiapkan jurus tangkisan atas berbagai tuduhan.
Tentu saja masyarakat Tangsel dengan tingkat pendidikan di atas rata-rata nasional menunggu momen itu. Bagaimana pun, kontestasi di alam demokrasi adalah kontestasi ide, gagasan dan program. Semua menunggu jurus-jurus visioner apa yang dipersembahkan kandidat untuk rakyatnya. Dengan begitu, panggung demokrasi tak lagi dibisingkan dengan perkara lapor melapor melainkan dengan dialektika sehat dan mencerahkan.
Kini, perjalanan kampanye masih menyisakan waktu cukup panjang. Kita berharap ketangkasan program dari masing-masing kandidat dalam mengatasi persoalan lebih dimunculkan. Manuver-manuver kotor seperti kampanye negatif, agitasi, propaganda dan fitnah tak mendasar yang dilontarkan kandidat di depan khalayak ramai tak lagi terulang. Cukup sudah kejadian tak mendidik saat acara karnaval kampanye damai di Taman Tekno II jadi pelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H