Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Medsos, Fenomena Christian Prince dan Zakir Naik serta Tantangan bagi Agama

24 Agustus 2019   13:19 Diperbarui: 24 Agustus 2019   22:53 17949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshoot salah satu akun youtube.com

Para artis online ini 'berjualan' ilmu agamanya masing-masing melalui media sosial. Mereka tampaknya sangat bebas dan lepas ketika menguliti dan mengritisi Kitab Suci dan ajaran agama tertentu.

Lahirnya tokoh-tokoh pengajar agama online yang memanfaatkan internet dan medsos untuk mengkritisi Kitab Suci dan Agama tertentu memicu aneka reaksi dari pemerintahan, otoritas agama, dan para pemeluk agama. 

Bagi yang belum siap dengan perubahan yang terjadi, langsung bersikap defensif dan melakukan upaya-upaya pemblokiran terhadap yang bersangkutan. 

Bagi yang sudah siap, mereka lebih terbuka, membiarkan para artis agama ini berdebat di media sosial tanpa ada tindakan pemblokiran/penjegalan.

Bagi mereka, apapun kritik dan keberatan yang diajukan oleh para 'guru agama' online ini merupakan bagian dari cara alami untuk pemurnian agama, sekaligus ujian gratis bagi otentitas Kitab Suci dan ajaran agamanya di hadapan publik.

Sikap ini lebih tepat karena lebih realistis dan menujukkan kematangan berpikir yang mengakui bahwa apapun informasi dan isu dalam setiap agama pasti akan dikuliti di ruang publik di era mileneal. 

Meminjam teori seorang filsuf, Rolan Bartes tentang tanda dan hermeneutika, setiap agama pun harus siap menjadi buku yang terbuka untuk dikuliti, dibedah, dicacah, dan diinterpretasi publik. 

Yang harus dilakukan oleh otoritas tertinggi masing-masing agama hanyalah berusaha memperkuat pengajaran internal kepada para penganutnya dengan tetap mengedepankan rasionalitas agar para pemeluk agamanya tidak beriman secara buta dan naif.

Dengan kata lain, sejak saat ini, agama yang tertutup terhadap kritik harus siap-siap di-peti es-kan. Keterbukaan terhadap kritik agama menjadi kunci untuk perubahan paradigma dalam beragama bagi para pemeluknya. Jika tidak, ajaran Kitab Suci hanya akan menjadi fosil purba yang tidak relevan lagi bagi kaum milenial di masa depan.

Mampukah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun