Sudah habis tisue segulung pemberianku tetapi tangisan wanita itu belum reda. Mata dan hidungnya sudah semerah saga. Tubuhnya terus bergetar lantaran tangisan tetahan di ujung tenggorokan. Sesekali ia melap air mata yang meleleh di pipinya. Kemudian memeras ingus yang keluar dari kedua lubang hidung mancungnya bak menara gading.
Dialah Maya, seorang wanita paruh baya nan cantik rupawan. Ia datang dan menangis di hadapanku karena aku sahabat sejak masa kecilnya. Dulu aku mengenalnya sebagai gadis enejik, penuh vitalitas, berani, kritis dan humoris. Namun, semenjak perjumpaan terakhir di pernikahannnya dengan Kris 8 tahun lalu, kini ia hadir di hadapanku sebagai seorang wanita yang sebaliknya. Wajahnya tampak jauh lebih tua, matanya kian cekung dengan kantong mata yang kian menebal. Tubuhnya kian kurus dan tidak seseksi masa mudanya.
Malam tadi, ia menelponku untuk bertemu denganku karena mendengar dari keluargaku bahwa aku telah berpindah ke kota asal suaminya. Aku katakan, datang saja pagi ini karena aku tidak sesibuk seperti biasanya, hari ini. Yah, ia telah hadir di hadapanku. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat perubahan drastis dirinya yang tampak menjadi lebih tua dari umurnya.
Setelah bersalaman dan berpelukan sejenak melepaskan rasa kangen, tanpa basa-basi seperti biasanya ia mulai angkat bicara.
"Kamu kagetkan melihat aku seperti ini?"
"Yah, bukan sekedar kaget, tapi syok. Mengapa?"
"Itulah alasannya, mengapa aku mau bertemu denganmu pagi ini. Kamu tahukan, 8 tahun lalu aku menikah dengan Bang Kris. Aku sangat berbahagia pada waktu itu. Karena aku sangat yakin sekali bahwa dialah pasangan tulang rusukku yang hilang dan telah ditemukan kembali. Kamu pasti melihat ekspresi kebahagiaanku pada malam resepsi pernikahan kami, karena engkau juga hadir dan sempat membisikan kata proficiat di telingaku, ketika kita bersalaman dan berpelukkan. Tetapi, engkau tidak pernah tahu apa yang kualami sejak malam pengantin sampai hari ini di antara aku dan Bang Kris."
Tanpa memberi waktu aku menyela pembicaraannya, ia pun terus nyerocos seperti biasanya.
"Setelah malam resepsi itu sampai dengan hari ini aku tidak pernah disentuh oleh Bang Kris. Tahukah kamu artinya disentuh?"
Aku hanya menganggukan kepala.
"Aku tidak pernah merasa menjadi istrinya Bang Kris sampai dengan detik ini. Awalnya, aku mengira karena Bang Kris pemalu, sehingga ia belum menyentuhku juga. Namun setelah pernikahan kami berjalan setahun. Aku mulai merasa ada kejanggalan dengan Bang Kris serta pernikahan kami. Sering aku memberikan signal dengan berbagai cara agar ia menyentuhku. Namun, Bang Kris tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dia jarang tidur sekamar denganku dan selalu tidur di depan televisi atau di ruang tamu dengan alasan tidak mau mengganggu kenyamanan tidurku. Karena ia selalu mengerjakan tugas kantornya atau menonton televisi sampai larut malam. Semuanya itu membuatku tertekan dan bertanya diri, apakah aku kurang cantik dan menarik secara fisik baginya, sehingga ia tidak mau menyentuhku? Bahkan sorot matanya seolah-olah tidak berminat sedikitpun terhadapku."
"Semuanya menjadi gamblang bagiku pada liburan Natal di tahun pertama pernikahan kami. Aku pulang ke rumah untuk Natalan bersama keluarga sekaligus mau menata kembali perasaanku yang sudah mulai kacau. Bang Kris tidak mau ikut karena ingin Natalan bersama keluarga besarnya. Aku pun berlibur di rumah orang tua. Namun setelah Hari Natal, aku merasakan hal yang aneh. Aku mempunyai perasaan yang tidak enak dengan Bang Kris. Karena itu, aku putuskan untuk segera setelah Natal balik kembali ke rumah kami."
"Tanpa memberitahu Bang Kris sebelumnya aku langsung pulang ke rumah di hari Natal yang kedua. Setelah masuk gerbang rumah, aku merasakan suasana rumah sepi, pintu dan jendela semuanya tertutup rapat. Kondisi halaman rumah masih seperti keadaan terakhir sebelum rumah kutinggalkan. Perlahan-lahan aku menuju teras  rumah dan memasukan kunci cadangan yang kubawa, sebab aku berpikir pasti Bang Kris tidur di rumah mertuaku. Ketika kunci rumah kucolokkan, terdengar bunyi gemerincing dan rupanya ada kunci yang masih menempel dari dalam rumah. Ternyata pintu belum terkunci. Aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Rumah berantakan. Di ruang tamu berserakkan botol-botol minuman dan kulit-kulit kacang. Perlahan aku menuju kamar kerja Bang Kris, kemudian beranjak kamar tamu, tetapi tidak kutemukan Bang Kris di sana."
"Aku ke kamar tidur dan membuka pintu yang tertutup. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan di depan mataku. Bang Kris tidur sambil memeluk pria yang adalah asisten pribadi di kantornya dan keduanya dalam kondisi topless. Aku langsung membanting pintu dan mengambil tas serta memesan travel dan kembali ke rumah orang tuaku. Setelah masa liburan Natal berakhir, aku kembali ke rumah dengan luka yang menganga di hatiku. Aku telah bertekad untuk tidak akan mempedulikan Bang Kris lagi. Aku kembali dan mengajar seperti biasanya. Di rumah hubungan kami makin dingin dan tanpa komunikasi yang hangat."
"Suatu hari aku mengajaknya berbicara dan meluapkan semua unek-unek di hatiku termasuk peristiwa yang kusaksikan sendiri. Mau tahu apa yang dikatakan Bang Kris pada waktu itu? Dia mengatakan terus terang kepadaku bahwa ia sebenarnya pria homoseks. Ia hanya bisa merasa tertarik dengan seorang pria. Aku pun protes, kenapa dari sebelum pernikahan ia tidak mengatakannya secara jujur kepadaku, sehingga kami tidak perlu melanjutkan dengan sebuah janji suci yang takterceraikan kecuali oleh kematian di Altar Tuhan? Ia meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Ia hanya mau menikahiku agar dianggap pria normal dan terhormat oleh keluarga besar dan rekan kerjanya. Ia menikahiku demi status agar dianggap normal oleh masyarakat di sekitar kami."
Degggg....aku pun kian terpekur dan diam seribu bahasa mendengarkan penuturannya. Ia terus bercerita sambil menangis, melap air mata dan ingus yang meleleh. Kubiarkan ia menumpahkan semuanya di hadapanku tanpa berusaha menyela sedikitpun perkataannya.
"Sejak saat itu, rumah tangga kami benar-benar bukan menjadi tangga menuju surga kebagiaan, tetapi tangga menuju neraka dan kematian. Keluarga yang kami bangun bukan lagi menjadi sebuah rumah tangga, tetapi menjadi rumah sakit yang berisikan dua orang sakit jiwa. Bang Kris terus dengan perselingkuhannya dengan pria asistennya. Sementara aku menjadi wanita yang meratapi nasibku tanpa daya untuk keluar dari belenggu Sakramen Pernikahan kami. Sebab sebagai orang Katolik yang taat, aku tahu bahwa pernikahan menurut Agama Katolik terjadi satu kali untuk selamanya, sampai maut memisahkan kami berdua. Karena itu, aku tidak pernah berniat sedikit pun untuk berselingkuh dengan pria lain, meskipun sebagai seorang wanita normal aku ingin dimanja dan mendapatkan pemuasan batin dari seorang pria juga. Namun, setelah berjalan 8 tahun, aku sudah tidak kuat lagi menanggung beban ini. Aku mau keluar dari belenggu penderitaanku. Aku mau cerai dari Bang Kris. Bagaimana jalan keluar untuk persoalan kami? Tolong beri aku sebuah jawaban meyakinkan karena aku sudah kehabisan akal dan sangat menderita lahir batin."
Sambil menyodorkan bungkusan tisue yang baru kepadanya. Aku berusaha menenangkan perasaan marah yang juga tersulut di dalam hati setelah mendengarkan kisah hidupnya. Aku marah kepada Kris karena telah berlaku tidak adil terhadap Maya, teman sepermainanku yang telah kuanggap seperti saudariku sendiri.
"Maya, aku turut merasakan apa yang kamu rasakan. Aku tahu betapa sulitnya menjalani kehidupan seperti yang kamu jalani, apalagi selama 8 tahun. Saya tidak mau mempersoalkan mengapa kamu tidak menceritakan persoalanmu sejak hari-hari sebelumnya. Namun, satu hal yang aku tahu, kamu tidak perlu mempertahankan pernikahanmu, jika apa yang kamu katakan itu apa adanya. Mengapa?"
"Sejauh yang aku tahu dan pahami dari Kitab Hukum Kanonik yang juga mengatur tentang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, pernikahan seperti yang kalian berdua jalani adalah perkawinan tidak sah. Perkawinan Katolik menjadi Sah dan takterceraikan, kecualia oleh kematian, apabila kedua mempelai setelah peneguhan janji nikah di hadapan Tuhan dan disaksikan oleh imam dan seluruh umat (ratum) langsung disempurnakan dengan hubungan khas sebagai suami dan istri (consumatum). Jika tidak ada hubungan khas suami istri setelah pernikahan itu, maka pernikahan kalian berdua bisa dianulasi."
"Anulasi dalam perkawinan Katolik tidak sama dengan perceraian. Mengapa? Karena yang menjadi dasar dari perceraian adalah ketidakcocokan setelah pernikahan. Sedangkan dasar bagi sebuah tindakan anulasi dalam perkawinan Gereja Katolik adalah adanya indikasi cacat, pada saat sebelum melangsungkan janji nikah."
"Hal ini bisa diibaratkan dengan gol yang dianulir oleh wasit dalam sebuah pertandingan sepak bola. Semua mata penonton menyaksikan bahwa ada kenyataan terjadi sebuah gol dan bola benar-benar masuk ke gawang. Wasit utama juga telah membunyikan sempritnya sebagai tanda peneguhan gol yang telah terjadi. Namun, ternyata menurut hakim garis, ternyata pencetak gol memasukan bola dengan tangan kanannya dan bukan dengan sundulan kepalanya. Setelah mendengarkan penjelasan hakim garis, wasit utama memutuskan bahwa sesungguhnya tidak ada gol karena ada cacat ketika mencetak gol. Golnya dianulir karena ada cacat/pelanggaran dalam mencetak gol."
"Demikianpun yang terjadi dengan pernikahan kalian. Semua mata umat yang hadir di Gereja pada saat itu menyaksikan ada pengikraran janji nikah dan itu telah diteguhkan oleh pastor paroki sebagai wakil dari pelayan Gereja. Akan tetapi, ternyata ada cacat sebelum kalian membuat janji nikah, maka perkawinan kalian berdua sesungguhnya tidak ada sejak semula alias bisa dianulasi."
Sambil sesenggukan dia pun bertanya: "lalu bagaimana prosesnya? Apakah kami berdua bisa memutuskan begitu saja ataukah kami harus menempuh mekanisme khusus?"
"Silahkan bertemu dengan Pastor Paroki di mana kalian berdua mengikrarkan janji nikah. Ceritakan dengan dia apa yang menjadi persoalan perkawinan kalian. Dia akan mengurus proses anulasi itu ke Keuskupan. Pihak pengadilan Gereja di Keuskupan akan memprosesnya sebelum diajukan ke Vatikan untuk mendapatkan surat pernyataan dari Paus bahwa pernikahan kalian memang tidak ada sejak semula. Tapi ingat, prosesnya pun tidak akan cepat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu waktu dan kesabaran karena ada banyak hal yang akan diselidiki dari kalian berdua dan saksi-saksi nanti."
Setelah mendengarkan semua penuturanku ia pun pamit dengan langkah yang ringan, punggung yang tegak, dan sorot mata penuh harapan terpancar keluar dari kedua bola mata indahnya.
Selamat berbahagia saudariku. Tuhan Menyertaimu selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H