Lalu, apakah engkau datang ke sini untuk semuanya itu? Pertanyaan itu muncul spontan dari mulutnya yang manis.
****
Ilalang.
Namamu terlalu indah. Aku telah belajar banyak tentang hidup dari rumput Ilalang. Nenekku dulu sengaja membiarkan Ilalang dekat rumah terus hidup dan menutupi dinding rumah. Ketika saudaraku mencoba mencabutnya ia marah. Saudaraku sempat protes. Bagaimana mungkin nenek membiarkan Ilalang tumbuh liar di belakang rumah? Sekali nenek berkata: rumput itu memang liar. Tapi ia mengajari aku bagaimana mempertahankan hidup di tengah badai. Ia mengajari aku agar tetap hidup walau sesekali sering diinjak-injak sampai hancur.
Dan, kau Ilalang, namamu, hatimu, terpahat dengan indah dalam hidupku. Engkau telah mengajari aku tentang malam-malam indah penuh cahaya pintang maupun malam-malam pekat tanpa cahaya. Hampir saja aku meninggalkan cahaya kebenaran yang telah aku tangkap dan aku jumpai dari perjalananku di kota tua ini. Sekarang aku menjadi sadar bahwa Engkau seberkas pantulan cahaya itu. Namun engkau bukanlah cahaya yang sesungguhnya. Cahaya yang sesungguhnya memancar dari keabadiaan. Aku mau terus belajar menangkap cahaya itu agar bisa menjadi sinar lilin bagi seseorang yang aku jumpai di dalam kegelapan.
Mengapa orang tuamu memberi nama Ilalang? Ia tak menjawab. Mungkin saja ia tak pernah memikirkan hal ini. Tetapi, ah..apalah arti sebuah nama kataku dalam hati. Semua orang memiliki nama. Hidup dan masa depan mereka tak pernah ditentukan oleh nama.
Aku terlahir di sebuah desa yang penuh Ilalang. Maka orang tuaku suka memanggilku Ilalang. Mereka mencintai Ilalang. Rumah kami beratapkan Ilalang. Halaman rumah kami juga penuh Ilalang. Hari-hariku di masa kecil penuh ceria bersembunyi ditengah hamparan Ilalang bersama teman-teman. Tetapi yang paling menarik bagiku adalah saat di mana angin selatan berhembus dengan kencang membuat hamparan Ilalang di sekitar rumahku menari. Dan aku telah belajar menari, meliuk seperti Ilalang. Orang tuaku memangil aku Ilalang karena aku suka dengan Ilalang.
****
Kami menghabiskan hari itu. Ia tetap tak mengerti dan berharap agar aku menari bersamanya seperti Ilalang. Ah Ilalang. Engkau tentu tak suka mendengar keputusanku. Engkau datang mencariku di kota tua yang dingin ini. Aku datang di kota yang sama untuk mencari cahaya kebenaran. Mimpi kita berbeda. Aku tetap yakin walau mimpi kita berbeda kita disatukan oleh alasan yang sama. Kita datang ke kota yang sama untuk mencari sesuatu yang berarti bagi hidup kita. Jalanku, jalan terjal. Tak akan pernah engkau pahami.
Aku telah memilih bagi diriku jalan itu. Dan maaf, di kota tua ini yang Ilahi telah memahat dalam hatiku jalan yang harus kutempuh. Dan itu tentu bukan mimpimu. Tapi jangan kau bersedih lagi. Aku tak sudi melihat mendung di matamu,  juga bulan jingga yang semakin redup di alis lebatmu.   Kau bercita tentang DIA yang kuasa  dan aku berkata, kita disatukan oleh-Nya dalam doa yang sama walau jalan hidup kita berbeda. Ilalang aku tak sudi melihat ombak yang mengalir di pipimu juga tak sudi menatap langkahmu yang lesu di hari kemarin. Andai aku bisa, aku mau menghapus ombak di matamu itu, juga menjadi kakimu tiap kali kau berjalan menyusuri kebun ilalang  tempat kita tidak akan pernah belajar menari bersama tiupan angin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H