Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lalang

21 Juni 2011   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mari kita beranjak dari sini. Ini bukan hari yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang terlalu penting untuk masa depan kita. Aku sudah lapar. Mari kita mencari tempat yang baik untuk mengisi perut kita. Ayo, nanti kamu sakit kalau terlambat makan. Aku menrik tangannya. Dengan hangat ia menyambut. Lalu kami meninggalkan tempat itu.

Di kota tempat aku mencari cahaya kehidupan kami menghabiskan hari itu. Dia bercerita tentang impiannya memeluk masa depan. Di sela perjalanan ia berkisah tentang hari-harinya yang penuh mimpi. Ia berkisah tentang pemuda yang berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan mati sebelum memiliki dirinya. Dengan nada gurau ia menjawab pemuda itu, batas umur manusia, kata sang pemazmur 70 atau 80 tahun jika kuat. Akankah engkau akan menghabiskan sisa hidupmu untuk mengejarku? Ha.....hahahahaha. Ia menertawai kisah lucu itu dan mengakhiri ceritannya; cinta tidak dapat dipaksakan walaupun dunia menawarkan langit sebagai hadiah untuk merebut hati seorang yang dicintai. Cinta itu keikhlasan sama seperti laut yang iklas menampung setiap aliran air dari daratan. Herannya, ia tak pernah penuh, tak pernah tuntas.

Aku menyimak kisahnya dalam diam, meski otakku berkata, dia memahami dengan baik apa artinya mencintai, apa artinya mimpi seorang pemuda yang berjanji untuk mendapatkan cintanya sebelum ia mati. Seolah-olah aku menjadi sadar bahwa bagi sebagian orang hidup adalah mengejar cinta hingga hilang pedih-perih, walau peluru menembus kulit.

****

Kota tua itu menyimpan seribu kenangan. Cuacanya yang dingin membuat sebagian orang enggan mandi di pagi dan sore hari. Kalau toh mereka mandi, mereka memilih untuk menggunakan air hangat. Ada sebuah legenda yang diceritakan turun temurun di kota tua itu. Seorang gadis jatuh hati pada pangeran tampan dari pulau seberang. Tetapi ia tidak dapat menikahi pangeran pujaannya itu. Sebagai tanda cintanya, ia membuat batik bermotif jantung. Mengapa jantung? Karena cinta bersumber pada hati. Dan itu adalah lambang keabadian. Dan perempuan itu berkata, aku akan mati tetapi tanda cinta ini takan lekang oleh ruang dan waktu.

Ia menyambung ceritaku, tetapi sayangnya, di kota tua ini, cuacanya yang dingin tidak saja membuat orang takut mandi tetapi juga  seringkali membuat hati setiap orang beku. Aku terperanjat mendengar ucapannya. Apakah yang dimaksudkannya adalah saya? Aku mendengar engkau datang ke kota tua ini untuk mencari cahaya kebenaran. Seperti katamu, engkau meninggalkan orang tua, sanak saudaramu. Bahkan engkau meninggalkan aku juga. Dan engkau berkata, aku datang untuk mencari cahaya kebenaran. Ahhhh, aku merasa itu gombal. Cahaya tidak mungkin membekukan hati. Itu melawan prinsipnya sendiri. Cahaya pasti mencairkan hati yang beku. Kudapati dirimu sebaliknya. Aku mulai belajar tentang keraguan seperti tokoh yang pernah kau ceritakan Descartes.

Hari itu seolah menjadi hari terpanjang yang aku alami dari hari-hari yang pernah terlewati. Aku coba menjadi pendengar setia tanpa menyela setiap perkataan dari mulutnya. Melihat betapa diamnya diriku, ia menjadi heran.

Setelah makan, ia membawaku mengelilingi kota tua itu, menunjukkan kepadanya tempat-tempat wisata yang indah.

Mengapa engkau hanya diam mendengarkan celotehku? Begitu ia membuka pembicaraan di sebuah tempat wisata yang kami kunjungi. Hahahaha..hahahaha.....aku tertawa lepas seolah menunjukkan kepada dirinya tak ada yang aneh dengan sikapku. Memang tak ada yang aneh dengan sikap diamku. Sudah bertahun-tahun aku datang ke kota tua ini untuk mencari cahaya kebenaran.

Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa diam mendengarkan termasuk salah satu sisi kebenaran hidup yang sering diabaikan manusia. Banyak orang pandai berbicara, menggunakan logika dalam menuturkan kebenaran. Tak sedikit juga yang berbicara banyak untuk menunjukkan bahwa mereka mengatakan sesuatu kebenaran tentang hidup. Namun tak satupun di antara mereka yang memahami kebenaran hidup muncul dari diam, hening, di hadapan alam, sesama. Aku telah belajar tentang cahaya kebenaran yang lahir dari sikap diam.

Tampaknya engkau semakin bijak. Dan aku berkata, tidak juga. Aku hanya mau belajar menjadi orang bijak. Tidak seorang pun yang sungguh bijaksana dalam hidup ini. Yang ada hanyalah kepingan-kepingan kebenaran. Hanya yang Ilahi yang sungguh-sungguh bijaksana. Itulah alasan manusia merindukan yang Ilahi. Manusia tidak akan bahagia tanpa bersentuhan dengan cahaya kebenaran Ilahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun