Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Nature

Gejolak Perbatasan: Dialog Terbuka Masyarakat Adat dengan TNBK Berakhir Penyegelan Kantor TNBK

9 Mei 2011   04:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sabtu, 07  Mei 2011 bertempat di aula serba guna Paroki Santo Martinus diadakan dialog terbuka antara masyarakat adat sekecamatan Embaloh Hulu dengan pihak pengelolah Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Dialog ini bertujuan untuk mencapai kata sepakat tentang pengelolaan kawasan TNBK yang berada di wilayah masyarakat adat Tamambaloh dan Iban di Kecamatan Embaloh Hulu di mana masyarakat adat mengharapkan terlibat langsung dan aktif dalam pengelolaan kawasan tersebut.

Doa Adat oleh Kedua Temenggung: Tamambaloh dan Iban

Acara dialog dimulai dengan acara adat “Menyauti” yang dipimpin oleh kedua Temenggung dari Tamambaloh: Pius Onyang dan dari Iban:  F. Tigang. Menyauti berarti upaya memanggil semua roh leluhur dari generasi pertama peletak tatanan masyarakat adat Tamambaloh dan Iban termasuk yang pernah menjajaki dan pernah berdiam di wilayah perhuluan Sungai Embaloh (yang menjadi kawasan TNBK saat ini). Mereka diundang dengan menggunakan beras kuning dan hewan kurban untuk hadir, menuntun, dan membimbing masyarakat adat dan pihak pengelolah TNBK dalam dialog terbuka agar tercapai kata sepakat bagi kedua belah pihak. Roh leluhur diundang untuk menjernihkan hati dan pikiran para peserta dialog agar sungguh-sungguh lurus dan benar. Karena itu, didoakan juga bahwa apabila di antara peserta diskusi  yang hadir dengan niat yang tidak baik dan tidak murni, maka sebuah kutukan akan menyertai hidupnya selanjutnya.

Acara adat di depan aula serba guna berjalan sekitar 1 jam. Setelah acara adat, para peserta dialog baik dari pihak pengelolah TNBK, unsur pemerintahan Kecamatan Embaloh Hulu, unsur kepolisian Resort Kapuas Hulu, dan tokoh-tokoh masyarakat adat baru diperkenankan masuk ke dalam aula.

Sekretaris Temenggung Membacakan Aspirasi Masyarakat Adat

Berdasarkan format acara yang disusun oleh panitia dialog: perwakilan masyarakat adat akan diberikan kesempatan pertama kali oleh pembawa acara untuk menyampaikan aspirasi yang telah disusun secara tertulis. Kemudian baru ditanggapi oleh pihak pengelolah TNBK. Alur ini menjadi berubah ketika masyarakat adat melihat bahwa yang hadir mewakili pihak pengelolah TNBK bukanlah orang yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Masyarakat adat sangat mengharapkan kehadiran kepala wilayah I Mataso, Ir Ahamad Yani dan Kepala Balai Besar TNBK. Karena kedua tokoh yang dimaksudkan tidak hadir maka dialog untuk sementara diskors sambil para peserta ngopi sejenak sambil panitia dan beberapa tokoh masyarakat adat menyepakati ulang jadwal acaranya. Dalam rapat singkat ini diputuskan bahwa acara dialog tetap dialanjutkan seperti yang direncanakan, namun dengan beberapa konsekuensi bagi pihak pengelolah TNBK karena masyarakat adat merasa dibohongi dan dikecewakan oleh ketidakhadiran kedua tokoh TNBK yang sangat mereka harapkan di atas.

Diskusi dilanjutkan kembali dengan pembacaan aspirasi masyarakat adat yang diwakili oleh Pak Sigam. Aspirasi ini terdiri dari tiga bagian besar. Bagian pertama dipetakan secara historis bahwa masyarakat adat Tamambaloh dan Iban telah secara turun-temurun mewarisi lokasi TNBK sekarang ini sebagai  wilayah adat yang memang dilindungi atau dilestarikan secara turun-menurun bahkan sebelum leluhur mereka mengenal kata “konservasi.”  Dengan demikian, secara turun-temurun masyarakat adat mempunyai kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan kawasan adat. Bagian kedua dipetakan kondisi setelah kehadiran TNBK di wilayah adat masyarakat. Masyarakat merasakan tidak dibatkan secara aktif dan partisipatif oleh pihak TNBK dalam pengelolaan kawasan adat yang telah diperuntukan bagi konservasi (wilayah perhuluan sungai). Masyarakat malah merasakan dijadikan sebagai objek di mana TNBK datang dengan berbagai program pemberdayaan yang tidak menyentuh kebutuhan masyarakat adat. Oleh karena itu, pada bagian ketiga dari aspirasi yang dibacakan tersebut, masyarakat adat menginginkan adanya pengakuan dari TNBK atas keberadaan masyarakat adat dan hak masyarakat adat dalam pengelolaan bersama kawasan adat mereka yang telah diperuntukan bagi konservasi. Di sini, masyarakat menghendaki adanya model kerja sama sinergis antara keduanya dalam pengelolaan kawasan di mana masyakat adat dilibatkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi  progaram-program pengelolaan kawasan TNBK. Karena itu, masyarakat adat juga menyiapkan sebuah draft nota kesepakatan bersama yang diharapkan ditandatangani oleh pihak pembuat keputusan di perwakilan TNBK yang hadir yang isinya terdiri dari:

1.Bahwa secara historis, seluruh kawasan TNBK merupakan wilayah adat Masyarakat Adat.

2.Bahwa Masyarakat Adat sudah turun-temurun menjaga, memanfaatkanwilayah TNBK DAS Tamambaloh, DASLabian, Dan sepanjang Jelai Lintang serta Das Apalin secara lestari.

3.Bahwa TNBK hadir di wilayah hak ulayat Masyarakat Adathanyalah sebagai pendukungMasyarakat Adat dalam mengelola kawasan adat yang telah diperuntukan bagi konservasi.

4.Dengan demikian, masyarakat adat adalah pelaku utama dalam pengelolaan seluruh wilayah adat yang dilindungi dengan kearifan lokal yang dimiliki, dan kehadiran TNBK membantu dan memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan kawasan adat yang dilindungi tersebut.

5.Karena itu TNBK adalah mitra masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan adat yang diperuntukan bagi konservasi.

6.Oleh karena itumasyarakat adat sebagai penentu berbagai kebijakan, terutama berkaitan dengan zonasi yang salama ini sering menimbulkan salah paham antara masyarakat dengan pihak TNBK.

7.Bahwa wilayah adat yang telah dikonservasi tersebut diatas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta pembuatan kebijakan -kebijakan terkait dengan pengelolaan melibatkan masyarakat adat secara langsung.

8.Point 1 – 7 diatas harus sudah terealisasi secara nyata dalam kurunwaktu satu minggu, jika tidak maka pernyataan sikap yang kami sampaikanakan berlakudan bersifat permanen ( tidak akan berubah).

Setelah pemaparan aspirasi oleh perwakilan masyarakat adat, pihak TNBK diberikan kesempatan untuk menanggapinya. Pak Unang Suwarman (Kepala Bidang Teknis wilayah I – II Taman Nasional Betung Kerihun) yang mewakili pihak TNBK menjelaskan bahwa beliau menyambut baik aspirasi masyarakat adat. Akan tetapi, beliau mengakui bahwa dia pun orang baru di wilayah Kapuas Hulu (baru 2 bulan ditugaskan di Kapuas Hulu). Karena itu, dia pun tidak punya kuasa untuk menandatangani nota kesepakatan yang ditawarkan masyarakat adat. Kapasitasnya hanya menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat adat ke pusat untuk ditindaklanjuti di tingkat pusat.

TNBK dijauhi Hukum Adat 4 Kale Tau oleh Temenggung

Pada titik ini, masyarakat adat merasa dipermainkan. Oleh karena itu, berdasarkan kesepakatan dengan keempat Temenggung (Kepala Adat tertinggi masyarakat Dayak) yang hadir dalam rapat diputuskan untuk menghukum adat pihak T NBK karena ketidakhadiran Kepala Wilayah I Mataso, Ir Ahmad Yani dengan besaran hukum adat “empat kale tau”. Perhitungan hukum adat “empat kale tau” adalah sebagai berikut: 1 kale tau= 6 gram emas= Rp 600.000 (1 gram emas=100.000) x 4 kale tau = Rp 2.400.000. Dengan demikian, pihak TNBK harus membayar adat kepada masyarakat adat sebesar Rp 2.400.000 atas kekecewaan yang telah dilakukan oleh pihak TNBK yang tidak menghadirkan orang-orang pembuat keputusan. Di sini, masyarakat adat merasa telah empat kali dibohongi oleh pihak TNBK dengan sanksi adat untuk “kesalahan pembohongan” adalah seperti tersebut di atas.

Karena dialog ini tidak mencapai kata sepakat, maka masyarakat adat memutuskan untuk berkabung secara adat

penyegelan pintu masuk kantor TNBK wilayah I Mataso

dengan cara menyegel kantor TNBK wilayah I Mataso dengan upacara adat memberikan “Likang” di depan pintu masuk kantor TNBK. Ada pun maknanya adalah sejak penyegelan secara adat, seluruh masyarakat adat baik Tamambaloh maupun Iban berkabung atas ketidakadilan yang mereka rasakan sampai ada niat baik dan komitment dari pihak TNBK untuk bersama masyarakat adat menyelesaikan persoalan tersebut. Sepajang belum ada kata sepakat, segel (memakai bambu dan rotan) belum bisa dibuka dan tidak diperkenankan ada aktivitas di dalam kantor tersebut.

Iklan:

Baca juga latar belakang persoalan masyarakat adat dengan TNBK di sini: 

http://regional.kompasiana.com/2011/04/13/gunung-es-gejolak-masyarakat-adat-perbatasan-dengan-kehadiran-taman-nasional-betung-kerihun/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun