Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Pilpres 2014: Gambaran Kotornya Politik Indonesia

21 Juni 2014   02:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:56 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403270204748563998

[caption id="attachment_312082" align="aligncenter" width="630" caption="Illustrasi (lensaindonesia.com)"][/caption]

Pernyataan "politik (itu) untuk kebaikan" hingga kini belum juga menjadi aksioma umum dalam tatanan kehidupan politik di negara kita (tentu Indonesia bukanlah satu-satunya). Dalam negara-negara yang konstelasi politiknya mantap dan beradab, orang dapat dengan mudah mengafirmasi pernyataan tersebut.

Sementara untuk masyarakat suatu negara yang tata kehidupan politiknya "karut marut", pernyataan "politik (itu) untuk kebaikan" mungkin terdengar menggelikan. Telinga dan pikiran masyarakat kita pun belum lazim dengan ungkapan demikian yang hendak menyelaraskan politik dan kebaikan sedemikian rupa tanpa kesan kontras antara keduanya.

Potret buram sejarah politik Indonesia sedikit banyak telah memengaruhi cara pandang kita terhadap politik. Fenomena permainan "uang" dan "sembako," praktik-praktik anarkis dan saling menjatuhkan dalam merebut kursi, mentalitas "orang-orang terpilih" yang hanya bernafsu untuk meraup harta dan kekuasaan tanpa visi-misi yang jelas, semakin memberikan gambaran yang "keruh" mengenai wajah politik. Wajah keruh perpolitikkan kita kian didukung oleh menjamurnya kampanye hitam melalui aneka media sosial semacam facebook, twitter, dll.

Ketidaknetralan media-media mainstream juga ikut berperan memperkeruh wajah perpolitikkan di tanah air. Media-media yang sudah terbelah mendukung salah satu capres sibuk menonjolkkan sisi buruk/negatif dari lawan-lawan politik yang tidak didukung.

Yang paling kentara adalah TV one dan Metro TV: yang satu sibuk mengulek kelemahan Jokowi, yang lain sibuk mengobok-obok masa lalu Prabowo. Berita-berita positif tentang kedua tokoh ini semakin dilihat tidak objektif lagi oleh masyarakat yang sudah terbelah dalam dua kubu. Inilah fakta pesta demokrasi yang kian menjadi ajang democrazy! Semuanya ini semakin meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa politik itu kotor.

Apakah politik itu kotor? Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, telah menggagas politik sebagai "ilmuinduk tentang yang baik." Tujuan politik adalah apa yang baik bagi manusia. Perlu diketahui bahwa Aristoteles berbicara tentang politik selalu dalam hubungan eratnya dengan etika. Menurut Aristoteles, aktivitas politik harus selalu mengandaikan kematangan etis-moral.

Karena itu, siapapun yang hendak terjun ke dunia politik sejatinya harus terlebih dahulu membekali diri dengan nilai-nilai etika yang memadai. Dengan kata lain, para politisi harus sadar bahwa aktivitas politik mereka tidak dapat tidak bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan hidup masyarakat (warga negara). Mereka tidak berpolitik untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya.

Jika politik bertujuan semata-mata untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama dalam negara, mengapa muncul paham "politik itu kotor"? Sekurang-kurangnya ada dua hal yang melatari lahirnya pandangan negatif tersebut.

Pertama, terjadi reduksi dalam pemahaman terhadap politik, di mana politik melulu dimengerti sebatas rangkaian aktivitas Pemilu dengan segala atribut yang terlibat di dalamnya (Partai-partai politik, para caleg, kampanye, KPU dan seterusnya).

Dalam hal ini, pengalaman akan realitas anarkis, kebrutalan, praktik-praktik kotor seputar Pemilu, semuanya itu telah menjadi lahan potensial yang membentuk gambaran tentang politik sebagai entitas kotor. Itu berarti bahwa aktivitas politik dalam suatu negara jauh dari kemantapan etis. Maka label kotor dari politik tersebut lahir bukan tanpa alasan. Umumnya pandangan demikian muncul dari kalangan masyarakat bawah yang telah berkali-kali merasa dipermainkan, diperalat, dimanfaatkan dan diterlantarkan oleh "kalangan terpilih".

Tidak mengherankan jika sekarang ini lahir tren baru dalam masyarakat bahwa Pemilu (pesta demokrasi) adalah pestanya rakyat. Saatnya rakyat memeras habis partai-partai maupun caleg-caleg. Tentu dengan kesadaran bahwa setelah Pemilu mereka (rakyat) bukanlah apa-apa lagi. Momen  selanjutnya adalah dunianya kaum terpilih untuk ganti meraup keuntungan sebesar-besarnya. Maka dapat dibayangkan bahwa dalam konteks demikian visi-misi partai dan para caleg hanyalah slogan kosong.

Kedua, terjadi justifikasi pandangan "politik itu kotor" menjadi semacam paham umum dalam kalangan elit di dalam lapangan kehidupan politik. Paham tersebut lantas diartikan dan dimanfaatkan sebagai legalisasi moral terhadap praktik-praktik individual maupun kelompok yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kehidupan bersama.

Dalam kasus ini terjadi penyangkalan atas keterpautan erat politik dan etika untuk mewujudkan "kebaikan tertinggi" bagi komunitas negara sebagaimana digagas oleh Aristoteles. Segala aktivitas politik lalu menjadi "kebal" terhadap kaidah-kaidah moral etis yang ada. Politik menjadi lapangan bebas nilai. Setiap orang atau kelompok bebas mengejar kepentingan dan hasrat sendiri.

Jika demikian arti politik telah terlempar jauh dari hakikatnya yang sejati, yaitu untuk membidani sistem kenegaraan menuju kebaikan tertinggi dalam kehidupan bersama (negara) dengan berpijak pada nilai-nilai etika sebagai elemen konstitutifnya.

Maka dalam rangka mewujudkan tujuan negara kita--sebagaimana tercetus dalam alinea keempat UUD 1945--hal pertama yang harus dilakukan adalah "merevisi" pemahaman kita tentang politik atau mengembalikan citra politik bangsa kita ke wajah politik yang ideal. Kebaikan tertinggi dalam suatu negara hanya mungkin tercapai dalam penataan kehidupan bersama (politik) yang mengindahkan nilai-nilai etika. Karena itu segala bentuk pemisahan etika dari wilayah politik hendaknya dihindari karena terbukti membuka ruang bagi praktik-praktik kotor yang sekaligus melahirkan label "kotor"pada politik.

Untuk memulihkan citra politik bangsa kita, mutlak diperlukan kesadaran dan pemahaman baru dalam berpolitik. Siapapun yang berniat menceburkan diri dalam aktivitas politik harus "sadar" sepenuhnya bahwa ia hendak memasukan diri ke dalam suatu wilayah yang sarat akan tanggung jawab etis. Dengan melibatkan diri dalam aktivitas politik, seseorang bukan sedang bertualang dalam suatu dunia bebas nilai dengan bertameng pada pemeo "politik itu kotor", melainkan ia tengah mengemban visi misi bersama untuk mewujudkan bonum commune.

Politik dapat diibaratkan sebagai "mesin" dalam instalasi pemerintahan sebuah negara yang berdaulat dan sadar akan eksistensi diri. Citra politik bangsa kita selanjutnya akan tampak dari produk hukum yang ditelorkannya. Bila politik tidak diimbangi dengan nilai-nilai etika sebagai roh pengendali, barangkali kita tidak akan pernah menikmati demokrasi Indonesia yang ideal yang menjadi cita-cita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun