“Huh! Ke mana sih Ervin? Kenapa pintu kamarnya belum juga terbuka,” bathin Lana dari balkon rumahnya berharap Ervin keluar dari kamarnya .
Setiap pukul 5 sore, Ervin kerap bersantai di balkon rumahnya sambil asik memainkan handphone yang tak pernah lepas dari genggamannya . Saat itu pula Lana tak pernah absen mencari perhatian Ervin, dengan menyibukkan diri menyirami tanaman hias koleksi mama. Tentunya tak luput mencuri pandang ke arah Ervin setiap sore bersandar di kursi malasnya sambil menikmati kopinya.
***
Suatu sore, bosan menunggu Ervin belum keluar kamar juga. Lana merebahkan badannya di kursi santai yang menengadah ke langit senja yang sedang cerah itu. Lana memejamkan matanya dilanjutkan menyelami lamunan indahnya.
“Ervin memiliki wajah putih bersih, hidung mancung, cool dan enggak banyak ngomong. Kalau aku bilang wajah Ervin mirip Nicholas Saputra,” gumam Lana tersenyum-senyum sendiri.
“Rasanya pantas-pantas saja jika Ervin kelak menjadi pendamping hidupku. Aku orangnya bawel, sedangkan Ervin pendiam. Ervin orangnya cerdas dan rajin beribadah, pasti bisa mendampingiku menjalani hidupku menjadi lebih sempurna sampai mati.” Hayal Lana tertawa sendiri sambil menggigit gagang kaca mata hitamnya.
“Mumpung musim libur, Ervin masih beberapa hari lagi tinggal di Indonesia. Besok aku akan ajak Ervin nonton film premier yang lagi banyak diperbincangkan teman-taman di kampus.”
Diiin … diinn …
Lamunan Lana buyar akibat suara klakson dari sebuah mobil putih berhenti di depan pagar rumah Ervin. Hanya dalam hitungan detik, Lana menoleh ke rumah Ervin melihat pintu dorong dan gorden hijau kamar cowok ganteng itu terbuka.
Tak lama Ervin keluar sambil menggenggam handphone masih menempel di telinganya. Lana berdiri mengintai seluruh gerak-gerik Ervin. Cowok yang selalu menebar pesona itu melambaikan tangan ke arah mobil putih yang berhenti di depan gerbang rumahnya.