Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Analisa ecek-ecek tentang Keputusan Keluarnya Vokalis Payung Teduh

15 September 2018   09:39 Diperbarui: 15 September 2018   10:20 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Mudah-mudahan redaksi, atau minimal substansi dalil yang saya kutip berikut ini tidak keliru: bahwa perceraian adalah perbuatan yang diperbolehkan, tapi secara bersamaan ia juga perbuatan yang dibenci oleh Tuhan. Di dalam kedangkalan wawasan dan kecupetan saya mengenai hal ini, saya nekad  menganalogikan peristiwa tersebut seperti koin yang memiliki dua sisi: diperbolehkan, mungkin pada takaran tertentu, perceraian mengandung unsur kebaikan bagi para pelakunya. 

Tapi sekaligus juga dibenci, barangkali point ini merupakan wanti-wanti---manakala dampak buruk sebuah perpisahan lebih besar daripada kebaikan yang akan ditimbulkan. Dalam pengertian saya, dalil ini seperti ingin memberi ruang kita untuk memilih salah satu di antara dua. Tapi, kalau bisa ya jangan. Jikapun sudah tidak terelakkan lagi, dampak buruk yang akan timbul agar supaya diminimalisir.

Barang tentu kata 'cerai' ini konotasinya melekat pada hubungan suami-istri, tapi dalam bentuk verba, kata 'bercerai' menurut KBBI memiliki makna: tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dan sebagainya) lagi---yang dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan---yang tak melulu tentang hubungan persuami-istrian. Bisa bercerai dalam hal kongsi bisnis, bercerai dalam hal koalisi politik, atau bercerai dalam sebuah kelompok musik alias band.

Untuk kasus 'bercerai' yang terakhir, konon, suatu hari pada tahun 1970 seorang wartawan dari majalah musik terkenal di Inggris mewawancarai seorang pengamat musik untuk mempertanyakan kejadian fenomenal pada saat itu: bubarnya band The Beatles. Banyak spekulasi bermunculan mengenai remuknya band asal Inggris ini, dari mulai sang manajer, Brian Epstein yang meninggal dunia; Paul McCartney yang ingin mendominasi band, kehadiran Yoko Ono di tengah-tengah The Beatles, dan George Harrison yang juga ingin andil dalam penulisan lagu. 

Belum lagi masalah perbedaan selera musik masing-masing personel yang ingin dimasukkan ke dalam materi lagu mereka, yang konon juga turut menyumbang kehancuran group musik yang berdiri pada tahun 1960 ini. Ingin mencari informasi yang valid, akhirnya si wartawan membuka wawancaranya dengan sebuah pertanyaan: "menurut anda, kenapa group band sekelas The Beatles bisa bubar?".  Kemudian si pengamat menjawab, "karena masing-masing personel merasa sudah cukup dewasa."

Dari dialog itu saya menangkap kesan bahwa, hanya mereka yang bermental anak-anaklah yang suka grubyak-grubyuk. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Soekarno di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi: hanya bebek yang rame-rame, elang selalu terbang sendirian.

Memang, setelah The Beatles bubar---John Lennon lebih memilih untuk bersolo karier dengan musik eksperimentalnya---dan, kemudian kita tahu akhirnya ia tewas di tangan penggemarnya. Paul McCartney pada tahun 1971 mendirikan band baru bernama Wings, dan sempat berkolaborasi dengan Michael Jackson, Stevie Wonder, dan Kayne West. George Harrison mengembangkan minat dalam musik India---bahkan, ketika masih bergabung dalam The Beatles, ia telah membuat album solo pertama dan menjadi soundrack film Wonderwall (1968) yang sekaligus adalah nama judul albumnya. Sedangkan Ringo Starr, memilih untuk beristirahat dari dunia musik.

Fenomena bubar atau bongkar pasang personel dalam sebuah band saya rasa adalah hal lumrah---terjadi di mana-mana dan kepada siapa saja, tak terkecuali di Indonesia. Koes Bersaudara yang kemudian menjadi Koes Plus, Slank, Gigi, Dewa 19, Jamrud, Boomerang, Sheila on7, Coklat, Kotak, The Fly, Keris Patih, Peterpan, ST 12, Raja, dan lain-lain---juga pernah mengalaminya. Dan, masih segar di ingatan kita bagaimana persoalan ini juga melanda Payung Teduh---dan sialnya, bertita tak menyenangkan itu terjadi di saat kita sedang gemar-gemarnya dengan karya mereka.

Ya.

Sebagai penikmat musik, apalagi saat industri musik sedang lesu-lesunya seperti sekarang ini, kehadiran Payung Teduh bagi saya adalah oase. Kekuatan pada setiap lirik lagunya, ditambah dengan komposisi melodi gitar-vocal dari Is, contrabass oleh Comi, Cito pada cajon dan drum; yang terakhir adalah Ivan pada guitalele, terompet, dan backing vocal---yang diramu sedemikian ciamik---sehingga tak butuh waktu lama---kini mereka telah disejajarkan dengan kelompok musik papan atas lainnya.

Payung Teduh sebagai sebuah band memang tidak bubar, dua orang personelnya, yakni Ivan dan Cito masih menggawangi group musik yang terkenal dengan lagu-lagu balada yang tak biasa itu. Yang menjadi persoalan adalah, justru mereka yang keluar, yaitu Is dan Comi, adalah para pendiri band Payung Teduh. Sebelum Cito bergabung pada tahun 2008 dan Ivan pada tahun 2010, Payung Teduh ketika itu masih bernama 'Is Comi' yang diambil dari nama kedua personelnya---yang mereka bentuk pada tahun 2007. Ketika keempatnya dipertemukan dalam Teater Pagupon, barulah nama Payung Teduh dipakai hingga berhasil menelurkan beberapa karya: Payung Teduh (2010), Dunia Batas (2012), Ruang Tunggu (2017), dan Live and Loud (2017).

Ibarat sebuah hunian, Is dan Comi adalah dua orang yang memiliki sebidang tanah. Setelah kehadiran Cito dan Ivan, kemudian mereka berempat membangun sebuah rumah di atas tanah tersebut---dengan kontribusi yang merata---meskipun gaya arsitekturnya banyak diprakarsai oleh Is. Kemudian jadilah rumah Payung Teduh seperti yang telah kita ketahui bersama, di mana masing-masing memiliki bagian yang sama. Tapi, ketika Is dan Comi memilih untuk keluar dari Payung Teduh---kok saya merasa---Is dan Comi sedang mengeluarkan Ivan dan Cito dari band meskipun dengan cara yang sedikit berbeda dan sangat halus, yaitu mereka berdua yang keluar dari Payung Teduh.

Mudah-mudahan dugaan saya keliru. Sebab sebagai penggemar mereka, tentu saja saya menyayangkan keputusan Is dan Comi keluar dari band. Saya mengenal Payung Teduh ketika mereka muncul di layar kaca untuk kali pertama, yaitu di program Radio Show-TV One pada 17 Mei 2012. Lagu-lagunya yang adem, ditambah sikap mereka yang rendah hati membuat saya langsung jatuh cinta kepada Payung Teduh.

Setelah ditinggal oleh dua personelnya, bagi mereka life must go on: Is kini membuat band baru dengan nama Pusakata, Ivan dan Cito melanjutkan Payung Teduh dan telah menelurkan album berjudul Mendengar Suara, sedangkan Comi belum terdengar kiprahnya dalam bidang musik---tapi dalam sebuah wawancara---konon ia ingin kembali ke jalur metal dengan instrumen elektrik. Saya turut senang jika pada akhirnya mereka terus berkarya, tapi sebagai penggemar yang belum bisa move on dari hengkangnya dua petolan Payung Teduh, saya merasa perlu mengeluarkan unek-unek ini untuk kepentingan saya sendiri.

Tulisan ini saya buat berdasarkan data-data sekunder yang saya peroleh dari beberapa artikel dan video di youtube yang sengaja saya kumpulkan untuk  kebutuhan analisa tentang keluarnya Is dan Comi dari Payung Teduh. Karena keterbatasan sumber dan subjektivitas dari saya, maka tulisan ini tidak akan pernah bisa atau tidak boleh dijadiakan rujukan oleh siapapun tanpa terkecuali (dan saya yakin tidak akan ada orang sekonyol itu). Sebab bobot dari tulisan ini hanya seperti obrolan warung kopi, untuk mana sekadar ingin ngrasani seseorang---yang kebetulan 'seseorang' tersebut adalah Payung Teduh. Berikut adalah analisa saya:

Ya.

Diakui atau tidak, dari segi bisnis, keluarnya Is dan Comi dilakukan pada waktu yang tepat. Maksud saya, ketika single pertama dari album ketiga mereka keluar, yaitu Akad, dan diterima oleh masyarakat luas---bahkan ada yang mengkategorisasi lagu tersebut sebagai wedding song; tiba-tiba datang kabar Is keluar dan kemudian disusul oleh Comi. Rasanya belum habis euforia kami dengan rilisnya lagu tersebut, kok tiba-tiba malah bubar.

Memang, jika dilihat formasi menjelang keluarnya Is dan Comi---; Ivan sering mengisi vocal utama pada beberapa pertunjukan. Artinya, secara tidak langsung semua personel bahkan manajemen Payung Teduh (termasuk Is dan Comi) telah mempersiapkan bahkan memperkenalkan Ivan sebagai pengisi kekosongan posisi Is nantinya. Pertanyaannya kemudian adalah: apa faktor yang membuat mereka tidak "berisik" ketika salah satu (atau salah dua) personel mereka hengkang dari band---sebab tidak jarang kita disuguhkan pemandangan di infotaintment---ketika salah seorang personel band memutuskan untuk keluar, pasti dihiasi perselisihan di media.

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengumpulkan beberapa video yang ada di youtube---berisi wawancara Payung Teduh ketika masih dengan formasi lengkap. Dari video-video yang saya tonton, saya menyimpulkan begini: bahwa sebelum adanya teater dan kemudian band, yang ada di antara mereka adalah pertemanan. Jadi, band dan teater adalah bagian kecil dari pertemanan mereka. Maka ketika terjadi perbedaan visi dalam band, demikian saya kutip verbatif dari statement Is di beberapa wawancaranya; hal tersebut tidak akan mengganggu relasi pertemanan---baik mereka yang masih di Payung Teduh atau sudah tidak lagi.

Dari pertanyaan di atas, saya kembangkan lagi ke pertanyaan berikutnya: jika memang benar terjadi perbedaan visi, apakah 'visi' yang dimaksud oleh Is?

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh beritatagar.id yang dipublish pada 9 November 2017 (https://www.youtube.com/watch?v=6hB6ysOZD0A), Is menerangkan: "Main musik bagi saya nggak melulu begini (manggung), tapi lebih ke produksi karya. Sementara Payung Teduh semakin 'tereksploitasi' gila-gilaan, dan itu membuat saya agak lelah. Kenapa kita memilih jalur sendiri (indie), karena kita bisa mengatur (jadwal) apapun itu."

Pada wawancara yang dilakukan oleh Project VIP yang dipublish pada 24 November 2017 video ke-1 (https://www.youtube.com/watch?v=Fap2p5xcvW8) Is seperti ingin melanjutkan statement di wawancara yang berbeda tersebut---tentang 'tereksploitasi gila-gilaan' dan mengutarakan keinginannya untuk mengatasi permasalahan yang sedang mereka hadapi: "... untuk kesehatan industri (musik) nggak bagus. Karena industri itu sebaiknya tetap sejalan dengan perkembangan idialisme seniman. 

Musik itu akan menjadi mahal pada saat momen seperti ini (kalimat Is merujuk pada keterangan sebelumnya tentang keinginannya membuat konser yang terkonsep [tidak diburu waktu karena harus bergantian dengan musisi lainnya yang harus tampil], diselenggarakan satu tahun hanya empat kali, dengan tarif yang mahal), bukan hanya karena jam terbang doang: Si Band A 60 juta, 100 juta rate-nya satu kali main karena namanya gede. Karena jadwalnya sibuk. Coba perhatikan, hanya karena jadal sibuk doang kita bisa jadi gede---salah satunya di negara ini. Bukan karena... (memang) dengan jadwal yang sibuk kita jadi banyak fans, karena (manggung) pindah-pindah tempat. Tapi, apakah (dengan waktunya sesibuk itu) karyanya bisa berkwalitas?"

Selain keterangan dari Is, saya tidak menemukan keterang dari personel yang lain. Tapi, jika melihat video mereka pada saat awal-awal kemunculan Payung Teduh; dalam beberapa wawancara---setiap kali diberi pertanyaan---apakah harapan mereka selanjutnya: secara kompak mereka menjawab bahwa keinginan mereka adalah membuat karya yang sebanyak-banyaknya. Dan, setelah nama Payung Teduh besar---dalam beberapa wawancara, mereka mengeluhkan jadwal manggung yang padat dan tertundanya album ketiga mereka (baca: Ruang Tunggu) selama beberapa tahun. Inilah yang menurut saya menjadi akar persoalan yang membuat Is dan Comi memutuskan untuk keluar dari Payung Teduh.

Lalu persoalannya adalah, siapakah yang membuat Is dan Comi tidak senyaman ini dan akhirnya memutuskan untuk keluar?

Jawabannya bukan Ivan dan Cito, sebab Is memberi keterangan: tidak ada perselisihan di antara personel. Yang harus dipahami adalah, bahwa Payung Teduh bukan hanya mereka berempat, tapi juga ada crew, manajemen, dan lain-lain. Jadi, siapakah pihak yang dimaksud Is dengan industri itu sebaiknya tetap sejalan dengan perkembangan idialisme seniman? Silakan Anda jawab sendiri pertanyaan itu (jawabannya ndak mesti harus bener kok, lha wong cuma obrolan warung kopi).

Lantas, kenapa Ivan dan Cito tidak ikut keluar dari Payung Teduh?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya merasa suasananya seperti film Fury (2014) yang dibintangi oleh Brad Pitt, Shia LaBeouf, Logan Lerman, Michael Pna, dan Jon Bernthal.

Fury adalah film garapan David Ayer yang setting ceritanya tentang Perang Dunia II: Pada masa-masa akhir PD II, tentara sekutu hampir memenangkan peperangan melawan tentara Nazi Jerman. Pada keadaan itu, Sersan Don 'Wardaddy' Collier (Brad Pitt) ditugaskan untuk menyerang sisa-sisa tentara lawan yang ada di beberapa kota. Bersama empat pasukannya: Boyd 'Bible' Swan, Norman Ellison, Grady Travis, dan Trini 'Gordo' Garcia---ia menjalankan tugasnya dengan mengendarai sebuah tank yang diberi nama Fury. 

Meskipun kendaraan miliknya tak secanggih yang dipunyai lawan, bersama Fury---Sersan Wardaddy beserta keempat awaknya mengalami banyak kemenangan. Hingga sampailah mereka di sebuah persimpangan jalan---tempat di mana mereka ditugaskan untuk mengamankan tempat itu agar tak dikuasai musuh. Tapi, di tempat itu pula Fury menginjak ranjau hingga rodanya hancur dan relnya putus---bersamaan dengan ratusan tentara Nazi yang berjalan ke arah mereka.

Panik, semua sepakat untuk lari menghindar---kecuali Sersan Wardaddy; matanya terus memperhatikan jalan yang akan dilewati tentara Nazi.

"Let's go!" ajak Boyd 'Bible' Swan kepada sang sersan.

"We never run before, I ain't running now. What was what? We're gonna fight it out."

"We can't..."

"I'm gonna hold this crossroad."

Makin panik, semua awak ikut memprotes. Tapi Sersan Wardaddy malah naik ke atas tank. Suasana menjadi ribut, hingga akhirnya Boyd 'Bible' Swan berteriak: "Stop!

Semuanya diam.

What are you doing?" lanjutnya, dan pertanyaan itu ditujukan kepada sang sersan.

Akhirnya sang sersan menyerah mengajak mereka berperang bersama untuk mempertahankan tempat yang telah mereka duduki: "Get out of here. Get to that tree line."

Semuanya masih diam, memandang ke arahnya, dengan pandangan geram dan tak percaya akan keputusannya.

"Boys," lanjut Wardaddy, "take care of yourselves. Get to that tree line. It's all right. It's my home." Sambil memukul-mukul Fury.***

Meskipun terkesan dramatis, saya rasa scene film Fury di atas dengan keputusan Ivan dan Comi untuk tetap tinggal di Payung Teduh memiliki kemiripan (setidaknya itu yang ada di dalam kepala saya). Dugaan saya dikuatkan dengan adanya hasil wawancara Ivan dan Cito dengan Dailygigs yang dipublish pada 13 Maret 2018, dengan sebuah pertanyaan: "Apa yang bikin Mas Ivan dan Mas Cito masih mau melanjutkan (Payung Teduh)?


Setelah Ivan menjawab, kini giliran Cito: "Ya, itu, sayang. (Payung Teduh adalah) Skripsi yang mewakili semuanya. Kami dibesarkan oleh band ini, dibuat dikenal banyak orang, jadi banyak relasi, banyak keluarga baru, banyak tempat baru yang kita kunjungi---(dan semuanya) karena Payung Teduh. Ya, kami hanya mempertahankan rumah kami saja. Sebagaimana pun hancurnya rumah itu, semoga masih bisa dihuni."

"Jadi kalian sudah siap kalau nantinya Payung Teduh---mungkin tidak sebesar dulu?"

"Ini bukan lagi soal besar atau tidak besar, ini tentang rumah."

***

Ibarat sebuah kota, Payung Teduh itu seperti Bogor bagi orang Jakarta dan sekitarnya. Atau Malang, bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Pesona alam yang dimiliki Bogor dan Malang: entah udaranya, airnya, dan segala hamparan yang mereka punya---adalah alasan kenapa orang Jakarta rela terkena macet ketika hendak menuju ke sana. Ini adalah reaksi alamiah para pendengar musik yang mungkin bosan dengan band-band yang sudah ada (bukannya mereka tidak bagus). Payung Teduh hadir menawarkan sesuatu yang berbeda, menawarkan tempat rekreasi bagi orang-orang kota untuk pergi piknik di tempat sejuk dan dingin. Itu kenapa, ketika Is dan Comi keluar, para penggemarnya merasa kehilangan ruang wisata.

Sampai sekarang saya, mungkin juga banyak orang di luar sana---berharap bahwa keputusan Is dan Comi keluar dari Payung Teduh sekadar teater. Mereka berdua hanya ingin istirahat untuk mengumpulkan energi baru untuk karya berikutnya. Dan, agar rumah Payung Teduh tetap aman: tidak dimasuki maling, dan agar tak tampak seperti rumah hantu karena tak berpenghuni; Ivan dan Cito rela menjaga rumah itu, alih-alih ingin merawatnya.

Atau, jika mereka benar-benar telah bercerai; ada mekanisme yang 'rujuk' untuk memperbaiki hal tersebut. Jika Is dan Comi melakukannya, mereka bukan yang pertama dan satu-satunya. Krisyanto pada tahun 2007 pernah memutuskan hengkang dari Jamrud, tapi tiga tahun kemudian sang vocalis kembali ke pangkuan Jamrud. Dan, jika pada akhirnya Is dan Comi mengikuti jalan yang pernah dilakukan oleh Krisyanto maka kami akan merasa gembira---sama seperti perasaan kami ketika Krisyanto kembali bergabung dengan Jamrud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun