Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Mereka Sebut sebagai Ekonomi Berbagi

12 Agustus 2018   11:39 Diperbarui: 18 Agustus 2018   05:44 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Segalanya akan terjaga jika kita memelihara batas," kataku setelah mengantongi KTP milik  ojol, akronim dari ojek online---karena kedapatan mengambil penumpang di area di mana aku biasa beroperasi.

Secara substansi sejatinya profesi kami tidak jauh berbeda. Sama-sama tukang ojek. Hanya saja aku beserta kawan-kawan yang masih kukuh dan setia menjalankan pekerjaan tanpa batuan peranti lunak, daring berbasis komunitas---populer disebut opang alias ojek pangkalan. Keduanya kini dalam kondisi saling berhadap-hadapan, di mana kedua belah pihak sama-sama mengatas namakan perikehidupan dalam arti yang sesungguhnya: urusan perut dan dan demi kelestarian kepulan asap-dapur di  rumah tangga masing-masing.

Barang tentu tidak ada yang salah dari kegiatan mencari nafkah ini. Bahwa setiap warga negara berhak memenuhi kebutuhan dasarnya---, aku, atau kami para opang sangat tahu tentang hal itu---meskipun kesadaran tersebut tidak sepenuhnya dimiliki orang yang menjalani profesi ini. Tapi, apa yang kalian harapkan dari kami yang hanya berprofesi sebagai tukang ojek? Pengertian? Bahwa timbulnya perselisihan ini disebabkan oleh kami yang tidak responsif terhadap perkembangan teknologi?

Begini, ya!

Aku tidak pernah membenarkan reaksi teman seprofesiku yang, menurut kabar berita, di beberapa tempat atau daerah melakukan tindak kekerasan terhadap ojol. Itu amoral! Tapi di sisi lain, aku sangat memahami alam dan gerak pikir mereka yang sedang dirundung panik.

Biar kujelaskan.

Ada peribahasa mengatakan: sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Itu berarti, jika ada yang njendul atau memegang kepala saya, sama artinya dengan  merampas tanah yang menjadi lahan penghidupan saya. Sebaliknya. Jika ada yang mengambil tanah saya, itu sama halnya dengan memegang kepala saya---yakni letak sebuah kehormatan manusia yang tidak boleh disentuh orang lain meskipun itu hanya seujung jari. Kedua hal tersebut akan diperjuangkan meskipun nyawa taruhannya. 

Ini sudah menjadi hal paling prinsipil yang diwariskan turun-temurun oleh para orang tua dan sangat sedikit kemungkinan si pelanggar akan mendapatkan permakluman. Ini pertama, sebagai tikar dari penjelasanku yang selanjutnya.

Kedua, sesungguhnya permasalahan ini dimulai ketika pada sebuah masa di mana aktivitas semakin riuh tapi tak berbanding lurus dengan pendapatan kami sebagai opang. Kebetulan aku mangkal di terminal dengan beberapa teman sejawat yang mana pernah merasakan masa gemilang, yakni ketika ojek pangkalan menjadi pilihan utama bagi mereka yang diburu waktu setelah mereka keluar dari terminal. 

Keadaan ini kemudian sedikit berubah ketika perusahaan leasing mengeluarkan program motor dengan DP (down payment) murah. Kebijakan ini membuat pemasukan kami menjadi  berkurang, karena motor sudah menjadi hal lumrah untuk dimiliki oleh siapa saja. Tapi tak apa! Meskipun mengalami penyusutan, kami masih bisa mengatasinya.

Ketiga, inilah puncak dari semua persoalan: Aku perhatikan semakin hari jumlah penumpang semakin banyak, tapi anehnya tak seorang pun yang menggunakan jasa kami. Mereka datang, kemudian menghilang satu per satu. Ternyata keadaan ini juga dikeluhkan oleh para sopir angkot dan taksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun