***
KTP sudah di kantong. Kugiring ojol menuju ke pangkalan, beserta penumpang yang masih ia bonceng. Sesampainya di pangkalan, ojol kusuruh turun dan penumpang kuminta untuk menunggu.
"Sudah berapa lama kamu menjadi ojol?" aku sambil pura-pura membaca KTP miliknya.
"Baru satu minggu, pak." Kulihat mulutnya gemetaran, mungkin ia sangat ketakutan.
"Kamu tahu di darah ini tidak boleh mengmbil penumpang?"
"Maaf, pak, saya tidak tahu."
Lantas kuambil secarik kertas, form yang berisi surat pernyataan bahwa ojol tak boleh mengambil penumpang di area terminal. Laki-laki yang masih seumuran anakku itu mengisi semua yang harus ia isi, lalu menandatanganinya.
"Ingat, ini peringatan pertama. Sebagai efek jera, kamu dikenakan biaya lima puluh ribu. Jika kamu mengulanginya lagi, dendanya dua kali lipat: seratus ribu. Dan jika kamu masih melakukannya lagi, surat pernyataan ini akan kuserahkan ke perusahannmu dan tamatlah riwayatmu."
Dengan tangan yang masih gemetaran ia mengambil dompet di saku celananya. Kuperhatikan setiap gerakan tangannya yang terasa lambat dan berat, sepertinya ia memang tak rela dikenakan denda. "Jadi saya harus bayar berapa, pak?" tanyanya dengan memasang wajah memelas.
Aku tahu jurus ini. Ia berharap aku memberinya belas kasih, dan membebaskannya dari sangsi denda.
"Lima puluh ribu!" suaraku setengah membentak.