Orang yang rajin melaksanakan shalat di siang dan malamnya tidak menjadi jaminan keselamatan baginya --bahkan tergolong sebagai pendusta agama-- sepanjang masih mengabaikan saudaranya yang kesusahan.
Allah SWT menginformasikan kepada kita dalam firmannya: "Tahukah kau (wahai Muhammad) siapa orang yang mendustakan agama? Dia adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan" (QS: Al-Maun).Â
Dengan kandungan surah ini semestinya umat Islam tidak boleh cenderung keliru dalam mengartikan ibadah yang terbatas pada "ibadah-ibadah ritual", sibuk dengan ibadah mahdhah tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup lainnya yang diderita saudaranya.
Segenap ibadah baik mahdhah maupun muamalah harus dijalankan secara beriringan, karena kedua ibadah tersebut perintah Allah SWT yang tidak boleh diabaikan. Sholeh secara personal tidaklah cukup dan belum tentu menjadi jaminan keselamatan, maka harus menyempurnakan ketaatan kita dalam beragama dengan kesholehan sosial.
Dalam hadi qudsi: Aku hanya akan menerima shalat dari orang yang merendahkan diri karena kebesaran-Ku, yang tidak sombong pada makhluk-Ku, yang tidak mengulangi maksiat kepada-Ku, yang mengisi siang dengan berzikir pada-Ku, yang menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan, wanita yang ditinggalkan suaminya, dan mengasihi orang yang mendapat musibah (Sayyid Sabiq, Islamuna).