Mohon tunggu...
Fajar Meihadi
Fajar Meihadi Mohon Tunggu... Dosen - اقرأ

Belajar melukis dengan kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dalam Dimensi Sosial

22 Agustus 2021   11:07 Diperbarui: 22 Agustus 2021   16:58 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Fajar Meihadi

Kehadiran agama dalam kehidupan manusia telah memberikan doktrin yang kuat pada pemeluknya, mereka yang taat rela dan bahkan dengan suka cita menjalankan segenap ajaran agamanya, mulai dari suatu perintah yang "kecil" seperti tatacara makan dan minum, hingga yang "besar" seperti bernegara dan ekonomi, dari ranah pribadi (individual) hingga bermasyarakat (sosial).

Sejarah telah mengabadikan "ketaatan" orang beragama dalam beragam pengorbanannya, meraka rela mati, pantang mundur dalam berperang semata karena agama. 

Dan itu terjadi dari masa yang boleh dikatan primitif, sebut saja perang salib, hingga masa sekarang (post-modern) yang sudah sangat maju ini masih saja dengan mudah ditemukan fenomena kekerasan atas nama agama.

Tentu puncak ketaatan dalam beragama tidak mesti dibuktikan dengan kekerasan, lebih-lebih di masa sekarang yang boleh jadi semangat perdamaian jauh lebih penting. Meminjam istilah Quraish Shihab, jika tidak mempu menebarkan kedamaian aktif, cukup dengan konsisten melakukan kedamaian pasif.

Agama juga telah memberikan jasa mulia kebaikan bagi kehidupan umat manusia yang tidak dapat dinafikan, sebab pada dasarnya agama senantiasa mengajarkan kebaikan dan kemuliaan. Entah, berapa juta manusia yang merasakan kehidupannya lebih baik karena ketaatan pada agamanya.

Agama memiliki peran dan fugsi sebagai referensi dan solusi bagi kehidupan manusia yang sangat dinamis, sehingga agama menjadi kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupan --meskipun ada sebagian kelompok yang merasa "tidak membutuhkan" agama-- agar lebih terarah dalam kebaikan, para pemeluknya percaya apapun yang diperintahkan dalam agama adalah perintah Tuhan Yang Maha Benar.

Tetapi bagi sebagian orang lupa bahwa sekalipun setiap ajaran agama tidak diragukan kebenaranya, tetapi pemahaman atas interpretasi ajaran agama tidak mungkin bersifat absolut, melainkan bersifat relatif. Karena sesuatu yang kebenarannya mutlak (wahyu) jika "diproduksi" menggunakan akal manusia (sifatnya relatif) mesti jika yang dihasilkannya adalah kebenaran maka kebenarannya bersifat relatif.

Maka tidaklah tepat jika terkesan angkuh memposisikan diri sebagai pemegang otoritas yang sah dalam menafsirkan ajaran agama, sedangkan yang lainya (jika berbeda) dipandang sebagai lawan dalam mendiskusikan persoalan doktrin keagamaan. Sikap semacam ini tidaklah bijak --bahkan mungkin tidak islami-- dan hanya akan merenggangkan tali persaudaraan. 

Kalaupun mengetahui kekeliruan interpretasi orang lain dalam memahami ajaran agama, alangkah lebih eloknya dihadapi dengan sikap dewasa yang sarat akan akhlak mulia.

Perbedaan dalam penafsiran ajaran agama sebuah keniscayaan dan sudah seharusnya disikapi dengan legowo tanpa perlu terlampau emosional. Lebih-lebih di bidang fikih perbedaan merupakan "seni keindahan" yang tidak perlu disikapi dengan polemik sengit dan permusuhan dari pada bertukar pikiran secara terpelajar. Jalaluddin Rahmat telah mengikatkan dalam karyanya yang berjudul "Dahulukan Akhlak di Atas Fikih".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun