Mohon tunggu...
fajar putrasulthoni
fajar putrasulthoni Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Muhammadyah Yogyajarta

suka mendengarkan musik, apapun jenis musiknya asalkan enak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kidsfluencer: Anak Sekecil Dia Berkelahi Dengan Algoritma

8 Januari 2024   22:57 Diperbarui: 11 Januari 2024   11:05 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saat ini kita hidup di era dimana sosial media merajalela. Sosial media dengan berbagai macam jenisnya dapat digunakan sebagai sarana komunikasi, mengekspresikan diri, hiburan, hingga berpotensi menjadi ladang pekerjaan serius bagi sebagian orang. Hadirnya media sosial ikut merubah dinamika dunia hiburan. Dahulu jika orang ingin menjadi artis terkenal, ada banyak tahapan yang harus dilalui. Kehidupan antara sang artis dengan penggemar pun menjadi berjarak. Tetapi saat ini dengan adanya media sosial siapapun punya peluang untuk menjadi terkenal dan jarak antara artis dengan penggemar menjadi samar (Astuti, 2023).

Dengan segala keunikan yang ditawarkan seperti kemudahan untuk menjadi terkenal dan maraup banyak uang, mendorong banyak orang untuk ikut eksis disana. Semua orang berlomba-lomba dengan berbagai macam cara untuk membuat konten dengan harapan dapat viral dan mendapat cuan dari sana. Salah satu konten yang berhasil menyita perhatian banyak orang adalah konten yang berisi tentang anak kecil. Tingkah lucu dan polosnya berhasil menghibur hati para penontonya. Konten tersebut sukses mengahasilkan banyak viewers dan like. 

Contohnya salah satu pesohor tanah air yang kerap menjadikan tingkah lucu dan kepolosan anaknya sebagai bahan konten yaitu Rayyanza atau yang sering di sapa Cipung, putra Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Dilansir dari akun Youtube Rans Entertainment, pasangan itu sering membagikan keseharian Cipung termasuk ketika sang anak di prank oleh orang-orang dewasa disekitarnnya, dimana hal ini dijadikan sebagai konsumsi public. 

Sama halnya dengan Baim Wong dan Paula Verhoven yang membuatkan akun Instagram untuk anak keduanya, Kenzo Bahkan sebelum ia lahir. Setelah Kenzo lahir akun Instagram tersebut memiliki 41 ribu follower dalam waktu kurang dari 24 jam.

Fenomena ini disebut kidsfluencer atau anak anak yang menjadi influencer di media sosial. Akun media sosial yang dimiliki oleh kidfluencer biasanya dikelola oleh orang tuanya karena Berbagai jenis platform media sosial menerapkan batas usia minimal 13 tahun untuk bisa memiliki akun pribadi. Motif orang tua menggunggah konten tentang anaknya berbeda-beda. 

Salah staunya yaitu para orang tua secara sengaja menjadikan anaknya terkenal agar dapat dijadikan ladang pemasukan tambahan yang didapat dari dari iklan atau endorse. Para pengiklan pastinya membutuhkan kidfluencer untuk menjadi brand ambassador bagi produk mereka. Mempromosikan produk anak tentunya bintang yang dipakai adalah anak-anak juga agar testimoni dari produk yang di iklan kan tampak nyata dan meyakinkan masyarakat.

Tetapi menjadi kidsfluencer tentunya bukan pilihan pribadi bagi anak tersebut sebab anak kecil belum memiliki kemampuan dalam menggunakan dan mengelola media sosial.  Sisi buruknya adalah para orang tua lah yang meiliki kendali penuh dalam mengontrol konten dan pendapatan anak dengan melibatkan anak dalam aktivitas komersil. Pada banyak kasus, para orang tua akhirnya enggan mencari nafkah dan mengandalkan pendapatan dari konten dan endorsmen anaknya. Hal ini dilakukan karena pendapatan yang didapat dari endorse atau iklan sangat menjanjikan. 

Memang dengan adanya fenomena ini menawarkan peluang bagi anak kecil untuk mengekspresikan diri dan menghasilkan pendapatan, namun perlu diperhatikan bahwa hal ini juga dapat menimbulkan permasalahan yang serirus.

Seringnya membagikan foto dan data anak seperti nama, tanggal lahir, dan data pribadi lainya di media sosial  dapat membahayakan privasi anak dan berpotensi munculnya hal-hal berbahaya seperti penculikan atau tindakan pedofil. Selain itu tindakan tersebut juga dapat disalah gunakan oleh oknum tak bertanggungjawab untuk penipuan daring dan pencurian identitas. 

Masalah lain yang dikhawatirkan yaitu adanya cyberbulliying (Utami, 2014). Masalah ini dapat menimpa siapa saja tanpa mengenal usia dan latar belakang. Cyberbullying sering dialamai oleh influencer melalui kolom komentar dan pesan pribadi. Apabila hal ini dialami oleh kidsfluencer maka akan mengganggu perkembangan mental dan psikologi anak. 

Selain itu adanya media sosial akan menjadikan anak memiliki kepribadian online dimana mereka akan menampilkan bagian dari diri mereka yang disukai orang lain untuk mendapatkan perhatian. Hal ini menciptakan anak yang memiliki citra sempurna diluar tetapi sebenarnya mereka tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya ia inginkan atau percaya pada dirinya sendiri. Tentu hal ini berpengaruh pada kesehatan mental kidsfluencer saat dewasa nanti seperti kemampuan menjalin hubungan atau menentukan keputusan sepanjang hidupnya.

Miris rasanya jika melihat orang tua yang secara sadar menjadikan anaknya yang masih belia sebagai ladang untuk mencari uang. Masih banyak juga orang tua yang menganggap bahwa memposting anaknya di media sosial merupakan hal biasa yang didasari atas rasa kesukaan dan kebanggan mereka pada kelucuan dan kepintaran anaknya. Hal inilah yang disebut sebagai kesadaran palsu (Palupi & Irawan, 2020). Rasa ingin dipuji dan mengambil keuntungan finansial dilakukan tanpa adanya kesadaran penuh bahwa hal semacam itu merupakan bentuk eksploitasi terhadap anaknya. 

Maka untuk para orang tua harusnya lebih bijak lagi dan mulai untuk memahami literasi media agar tidak terbelenggu pada kesadaran palsu. Sebagai pengguna sosial media yang dewasa seharusnya kita menjadi khalayak aktif untuk menanggapi bermacam-macam konten yang disajikan di sosial media. Seperti fenomena kidfluencer ini, seharusnya kita dapat mengkritisi hal tersebut mulai dari motif orang tua, dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan sang anak, hingga dampak bagi pengguna sosial media lainnya. 

Sesuai dengan teori use and gratification kita sebagai khalayak seharusnya aktif dalam mengkonsumsi konten media dengan cara selektif dalam memilih tayangan atau konten (Isnaini, 2023). Jangan sampai fenomena kidsfluencer ini semakin marak karena banyak orang yang mengharapkan kehadiran konten tersebut. Maka alangkah baiknya apabila kita lebih meminimalisir tontonan yang berisi tentang anak-anak agar hasrat para pembuat konten anak kecil dapat berkurang.

Referensi :

Astuti, Irawati Diah. (2023). “Fenomena Kidsfluencer dalam Beretika Media Sosial.”  Jurnal Universitas Indonesia.

Isnaini, Meisi (2023) Pendekatan Uses and Gratification Theory Pada Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Sekolah Dasar. S1 thesis, Universitas Jambi.

Palupi, Merry Fridha Tri dan Rahmat Edi Irawan. (2020). Eksploitasi Anak Melalui Akun Instagram (Analisis Wacana Kritis Praktek Sharenting Oleh Selebgram Ashanty & Rachel Venya), Jurnal komunikasi dan Teknologi Informasi. Vol 12, No. 1, Maret 2020.

Utami, Yana Choria. (2014). “Cyberbulliying di kalangan remaja (studi tentang korban perundungan siberdi kalangan remaja di surabaya).” jurnal universitas airlangga 3(3):1–10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun