Mohon tunggu...
Faiz Ulin Nuha
Faiz Ulin Nuha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa HKI UMM

Mahasiswa HKI UMM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dilema Politik Dinasti sebagai Hak Konstitusional Warga Negara

24 November 2020   21:42 Diperbarui: 24 November 2020   21:46 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap digelar secara serempak pada masa pandemi Covid-19. Tahapan, jadwal dan program pilkada disusun KPU berdasarkan protokol kesehatan mengingat masih masifnya penyebaran covid 19 di Indonesia sampai saat ini.  Penyelenggaraan Pilkada yang rencananya akan digelar serentak di 270 wilayah.

Kontroversi Pilkada 2020

Keputusan pemerintah ini dinilai kurang masuk akal dan mendapat banyak sekali kritik tajam baik dari masyarakat maupun organisasi masyarakat, salah satunya dialamatkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah yang bersikeras mendesak pemerintah untuk menunda Pilkada dan memprioritaskan keselamatan hidup rakyat Indonesia dari pandemi Corona.

Pilkada kali ini tidak hanya kontroversial terkait isu pilkada yang diadakan dikala pandemi global saja namun banyak juga catatan para ahli serta kritikan tentang pilkada kali ini seperti, faktor calon tunggal dan dinasti politik juga mendapat perhatian lebih oleh para ahli dan para kritikus. Dikarenakan jumlah calon tunggal dan indikasi dinasti politik meningkat di pilkada kali ini.

Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal tersebut seperti sistem pencalonan dan situasi politik hukum yang ada. Ada kurang lebih 25 daerah dengan calon tunggal di Indonesia. Adapun sistem pemilihan kepala daerah serentak ini merupakan perhelatan akbar yang ke empat kalinya diadakan setelah sukses pada tahun 2015,2017dan 2018. Evaluasi demi evaluasi catatan demi catatanpun tak bisa terhindarkan salah satu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari adalah muncul dan maraknya dinasti politik

Politik dinasti sangat erat kaitannya dengan oligarki serta publik menilai praktik ini adalah upaya pencurian hak atas demokrasi. Saat ini rasa akan hadir oligarki kembali mencuat selama pemerintahan Joko Widodo. Hal ini, dikarenakan langkah dari PDI-P yang menunjuk Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden RI sebagai calon walikota Solo 2020 dan Boby Afif Nasution Menantu presiden yang diusung PDI-P pada Pilkada Medan. 

Bukan hanya dari pihak Jokowi saja yang melakukan praktik ini, praktik politik dinasti. Nama lainya seperti Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan tak mau ketinggalan keponakan dari Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusuma juga maju sebagai calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan yang diusung PDIP dan Gerindra.

Dinasti Politik Dari Masa Ke Masa.

Politik dinasti bukanlah barang baru di Indonesia ini, sejak era Soeharto diketahui presiden menunjuk putri sulungnya mbak Tutut sebagai menteri sosial. Dan menarik beberapa rekanan ABRI untuk masuk parlemen. Praktik politik dinasti semakin marak ketika Undang-Undang yang mengatur Otonomi Daerah disahkan untuk menerapkan desentralisasi, dan mengharuskan pemilihan kepala daerah secara langsung

Desentralisasi, pemilihan daerah dan Otonomi Daerah adalah salah satu tujuan dari reformasi namun praktik ini malah menjadi alat untuk tokoh lokal menguasai suatu daerah dan melanggengkan kekuasaanya. Dari dinasti Ratu Atut di Banten atau bahkan keluarga Syahrul Yasin Limpo yang berkuasa di kabupaten Gowa dari tahun 1994, hampir tidak pernah beranjak dari keluarga Yasin Limpo. di Kota Blitar misalnya Moh. Samanhudi Anwar dan anaknya menduduki jabatan eksekutif dan legislatif tingkat daerah.

Realitas yang ada tersebut tentu bukan tanpa alasan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan  gugatan Adnan Purictha Ichsan keluarga Yasin Limpo tentang dibolehkannya ketentuan pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana, yang tertulis dalam pasal 7 huruf r UU No. 8 tahun 2015 tentang pilkada. Undang undang ini dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Pro Kontra Politik Dinasti    

Dihapusnya pasal 7 huruf r UU No. 8 tahun 2015 menimbulkan perdebatan publik. Pro kontra akan hal tersebut tak bisa terhindarkan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Publik menilai praktik tentang adanya politik dinasti adalah sebuah kemunduran demokrasi Indonesia.

Namun pihak yang sependapat dengan putusan MK tersebut berdalih bahwa setiap orang berhak dipilih dan memilih dalam pelaksanaan demokrasi saat ini sesuai pasal 43 ayat (1) UU HAM. Sedangkan pihak yang kontra menganggap praktik seperti ini sama saja pembajakan demokrasi oleh para elit politik yang berkuasa.

Saat ini mungkin belum ada penelitian secara komprehensif mengenai korelasi antara perilaku koruptif elit terhadap keluarga petahana atau incumbent. Namun bukti lapangan yang ada di masyarakat banyak menunjukan indikasi bahwa praktik dinasti politik sangat identik dengan kasus korupsi. Hal ini yang menyebabkan kecurigaan publik akan praktik politik dinasti tersebut.

Kultur politik seperti ini seakan mendarah daging di bangsa Indonesia. Menganggap bahwa garis keturunan itu sangat penting, sampai muncul istilah trah Soekarno atau trah Soeharto dan banyak lainnya. Pada dasarnya kultur ini seakan berjalan dialam bawah sadar masyarakat. Namun apakah ini sepenuhnya sebuah kultur yang ada dimasyarakat atau paraktek keji para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Memperbaiki Kultur Politik              

Dengan ulasan diatas bisa diambil kesimpulan bahwasanya praktik politik dinasti sangat mungkin terus terjadi, dan hal itu bukan merupakan suatu hal yang melanggar hukum. Dalam Undang-Undang tidak ada larangan untuk melakukan praktik dinasti Politik.

Kendati demikian bukan berarti publik serta merta mendukung praktik ini, kita sebagai bangsa harus bersama-sama merubah kultur politik yang menurunkan nilai demokrasi ini. Memasyarakatkan pendidikan politik dan budaya di indonesia agar tidak terjadi kultur masyarakat yang feodal. Tidak cocok rasanya jika bangsa Indonesia memilih demokrasi sebagai  dasar negara namun kultur masyarakat masih bersifat feodal.

Atau mungkin menurut penulis sendiri salah satu solusi akan hal ini adalah dengan menurunkan ambang batas pencalonan agar muncul kandidat-kandidat baru dalam kancah perpolitikan nasional. Pilihan-pilihan alternatif untuk rakyat akan bermunculan, hal ini mengharuskan partisipasi masyarakat yang tinggi akan hal tersebut.

Bila praktik politik dinasti tidak dapat di cegah melalui jalur hukum, maka dinasti politik dapat dilawan bahkan dicegah melalui jalur-jalur politik. Masyarakat adalah kunci dari perubahan kultur politik yang mengedepankan trah sebagai komoditas politik dibanding masalah substansial, maka masyarakat dapat bersama-sama untuk bergerak melawan kultur feodal ini dengan tidak memilih paslon yang berasal dari dinasti politik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun