kanjuruhan pernah datang ke Indonesia pada 7/10/2023.Â
Presiden FIFA, Giovanni Vincenzo Infantino sebelum Kongres FIFA(Fdration Internationale de Football Association) ke-73 yang berlangsung pada 13-16 Maret  kemarin (dalam rangka pemilihan presiden - yang akhirnya dimenangkan Gianni Infantino lagi), pasca kejadianAwalnya FIFA ke Indonesia mengemban misi "Reformasi Sepakbola Indonesia" bersama pemerintah Indoensia. Pemerintah bersama PSSI(Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) bekerjasama dengan FIFA dan AFC dalam membentuk tim yang nantinya akan ditugaskan membenahi sepakbola Indoensia secara keseluruhan.
Namun sesampainya di Indonesia, alih-alih fokus dan melakukan tindakan darurat, Infantino malah tertawa gembira bersama Iwan Bule, sambil bermain "Fun Football" di atas penderitaan korban Kanjuruhan. Kegiatan ini tentu mendapatkan kecaman dari publik.Â
FIFA sebagai federasi yang menaungi sepakbola dunia, seharusnya datang untuk membenahi sepakbola Indonesia. Bukan malah melakukan kegiatan yang tidak penting, tidak urgensi dan cenderung menodai harapan dan kepercayaan rakyat Indonesia. FIFA seakan hanya main-main soal "Reformasi Sepakbola Indonesia".
Keputusan FIFA untuk tidak memberikan hukuman kepada Indoesia terkait tragedy Kanjuruhan juga tidak masuk akal. Padahal, Tragedi Kanjuruhan adalah salah satu insiden kecelakaan sepakbola  terbesar yang pernah terjadi di dunia, dari sisi korban jiwa. Tragedi ini setidaknya memakan korban 133 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.Â
Aparat yang bertugas dan Panitia Pelaksana yang menggelar pertandingan Arema vs Surabaya, di Kanjuruhan pun melakukan beberapa kesalahan dalam segi perencanaan event olahraga, maupun antisipasi dan penanggulangan massa.Â
Namun alasan-alasan tersebut nampaknya belum cukup membuat FIFA menghukum Indonesia. Erick Tohir melakukan "Lobby" yang hebat dalam negosiasi ini, event-event yang akan diselenggarakan di Indonesia pun aman, termasuk tiket tuan rumah  Piala Dunia U-20 pada saat itu.
Naasnya, Piala Dunia u-20 yang rencananya akan dimulai pada 20 Mei sampai 11 Juni 2023 telah gagal. Kegagalan ini disampaikan beberapa hari pasca terpilihnya Giovanni Vincenzo Infantino, sebagai presiden FIFA untuk 3 periode. Dalam pernyataan resminya FIFA memutuskan untuk memindahkan tuan rumah Piala Dunia u-20 ketempat yang belum ditentukan.Â
Lebih lanjut, FIFA menyatakan bahwa perpindahan tuan rumah Piala Dunia U-20 disebabkan oleh "current circumstances" di Indonesia. "Current Circumstances" yang ditulis FIFA mengacu pada penolakan dari beberapa tokoh politik dan segelintir golongan yang tidak menerima keberadaan Israel di Indonesia.Â
Keputusan yang aneh mengingat adanya kesanggupan dan jaminan  dari President Joko Widodo soal penyelenggaraan  Piala Dunia U-20 di Indonesia, termasuk menjamin hak bermain peserta Piala Dunia u-20 (merujuk surat President Jokowi kepada President FIFA, 7/8/2019).
Dari penggalan point cerita di atas dapat disimpulkan bahwa: FIFA melembek, bersamaan pasca terpilihnya kembali Giovanni Vincenzo Infantino untuk yang ketiga kalinya. Melembeknya FIFA adalah hal yang jarang kita  temui pada federasi sepakbola dunia tersebut.  Jika dibandingkan dengan event besar yang sudah digelar FIFA sebelumnya, event Piala Dunia U-20 ini tidak ada apa-apanya. Secara logika memang benar langkah yang diambil adalah main aman FIFA buat kelancaran Piala Dunia itu sendiri. Tapi gimana dengan Qatar? Tempat penyelenggaraan Piala Dunia paling kontroversial.Â
Mulai dari kejahatan HAM yang dilakukan Qatar pada saat sebelum atau saat pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022, penolakan ban kapten pelangi yang bertentangan dengan budaya Qatar, dan seruan boikot oleh lembaga organisasi dan negara-negara di dunia. Apakah Qatar melakukan "Lobby" lebih baik dari Indonesia? Atau ada hal lain yang membuatnya tetap bisa menjadi tuan rumah penyelenggara? Hanya FIFA, Qatar dan Tuhan yang tahu.
Selain itu, sebelumnya, FIFA juga sudah merubah format Piala Dunia dan Piala Dunia Antar Klub dengan peserta yang lebih banyak. Penambahan peserta ini juga secara tidak langsung mengurangi waktu istirahat atlit sepakbola(yang sudah sedikit menjadi lebih sedkit) yang membuatnya seakan akan menjadi budak di era modern. Jadi perihal pengambilan keputusan yang berisiko tinggi, meluas dan berbahaya, FIFA seharusnya sudah biasa. Atau jangan-jangan FIFA standar ganda?
Fakta bahwa jajaran pemerintah dan PSSI (yang juga alat politik) gak becus dalam menangani sepakbola Indonesia (termasuk PSSI dalam hal sebagai perantara FIFA dengan pemerintah Indonesia) memang gak bisa dipungkiri. Tapi FIFA juga sama aja. FIFA dan Indonesia sama-sama tidak bisa menyingkirkan bad politics yang mempertontonkan kepentingan pribadi dari politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H