Laporan World Bank yang dikeluarkan pada tahun 2019 membahas tentang pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang mengalami kenaikan secara rapid. Â Kelas menengah mengalami pertumbuhan tahunan selama periode 2002 hingga 2016, berkembang lebih cepat dibandingkan kelas masyarakat lainnya.Â
Dalam hal ini meningkat tiga kali lipat sebagai porsi populasi antara tahun 2002 dan 2016, di mana kelas menengah tumbuh dengan laju rata-rata 10% per tahun. Ini adalah empat kali lipat lebih cepat daripada aspiring middle class (AMC) atau kelompok masyarakat yang bercita-cita menjadi kelas menengah. Pertumbuhan kelas menengah ini juga mewakili sekitar 20% dari populasi yang sebagian besar tinggal di area perkotaan.Â
Sementara itu, pada periode yang sama, porsi rumah tangga miskin dan rumah tangga rentan dalam populasi menyusut perlahan-lahan. Kelas menengah berkontribusi hampir setengah dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia, dengan pertumbuhan konsumsi kelas menengah mencapai 12% per tahun sejak 2002.Â
Ini menjadikannya sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang membantu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Tidak hanya itu, kenaikan kelas menengah di Indonesia juga telah berkontribusi terhadap kenaikan PNB Indonesia menjadi US$4.050 pada tahun 2019, melampaui ambang batas pendapatan untuk pendapatan menengah ke atas yang dikategorikan dengan PNB per kapita sebesar US$4.046 hingga US$12.535. Karenanya, World Bank menobatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas pada tahun 2020 silam.Â
Sebuah harapan bagi Indonesia untuk satu langkah menuju negara berpendapatan tinggi... Namun, apakah memang demikian?Â
Abdul Manap Pulungan, Kepala Makro Ekonomi dan Financial Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), mengingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak terlalu berbangga diri terhadap fenomena ini. Ia mengatakan bahwa kelas menengah di Indonesia masih mengandalkan sisi konsumsi dan bukan produksi sehingga hal ini menjadi rentan saat Indonesia mengalami gejolak ekonomi. Hal ini selaras dengan laporan McKinsey Global Institute (MGI) yang menyatakan bahwaÂ
"Indonesia tidak seperti yang diasumsikan banyak orang, menjadi eksportir manufaktur khas Asia yang didorong oleh pertumbuhan tenaga kerja atau eksportir komoditas yang didorong oleh kekayaan sumber daya alamnya. Kenyataannya, sebagian besar, masyarakat Indonesia masih bertumpu pada sektor konsumsi domestik dan bukannya ekspor, dan jasa daripada manufaktur atau sumber daya yang mendorong pertumbuhan".
Dan benar saja. Tibalah saatnya "ramalan" ini menjadi kenyataan.
Fenomena yang dilaporkan oleh World Bank pada tahun 2019 nampak berbanding terbalik jika kita berkaca pada situasi saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengumumkan bahwa kelas menengah di Indonesia tengah mengalami penyusutan yang signifikan. Pada tahun 2019, total populasi kelas menengah berjumlah 57,33 juta jiwa.Â
Pada Maret 2024 jumlah populasi kelas menengah berjumlah 47,85 juta jiwa. Sebanyak kurang lebih 9,5 orang telah keluar dari segmen kelas menengah pada periode ini. Tidak hanya kelas menengah, kelas atas juga dilaporkan mengalami penurunan, walaupun tidak separah kelas menengah, dari 1,26 juta di tahun 2023 menjadi 1,07 juta di tahun 2024.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) pada awal Agustus 2024 menyebutkan bahwa daya beli kelas menengah dan aspiring middle class (AMC) mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir.Â
Sejumlah ekonom yang beberapa di antaranya berada di LPEM-UI juga telah memprediksi terkait dengan jumlah kelas menengah di Indonesia yang terus mengalami penyusutan. Pada periode 2018-2023, populasi kelas menengah menyusut dari angka 23% menjadi sekitar 17% - 18%. Para ekonom berpendapat bahwa fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis moneter, penyusutan jasa di sektor manufaktur, meningkatnya inflasi, layoff besar-besaran oleh perusahaan, serta kenaikan pajak konsumsi oleh pemerintah baru-baru ini.
Sebenarnya, tidak ada definisi universal terkait dengan apa yang disebut kelas menengah atau cara untuk mengukurnya. World Bank sendiri mendefinisikan kelas menengah di Indonesia dengan mereka yang memiliki pengeluaran bulanan antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per orang. Sementara itu dalam data BPS terbaru tahun 2024, kelas menengah didefinisikan sebagai mereka yang menghabiskan antara 2 hingga 9 juta rupiah per bulan.Â
Namun, World Bank secara umum mengklasifikasikan kelas menengah sebagai mereka yang berada dalam keamanan ekonomi, terbebas dari kekhawatiran kemiskinan moneter, serta mereka yang mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka pada konsumsi diskresioner, barang-barang konsumsi tidak penting yang mewakili keinginan dan bukan kebutuhan.
Namun, apa yang diklasifikasikan kelas menengah oleh Bank Dunia tidak tecermin dalam kehidupan masyarakat kelas menengah saat ini. Faktanya, kelas menengah di Indonesia tengah mengalami tekanan ekonomi dan rentan untuk jatuh pada garis kemiskinan. Tidak benar-benar kaya, tetapi juga tidak cukup miskin untuk menerima subsidi, itulah yang dirasakan oleh masyarakat kelas menengah saat ini.Â
Bagaimana dengan kelas atas? Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan bahwa kelas menengah dan bawah lah yang saat ini paling merasa tertekan. Ia mengatakan bahwa tabungan kelompok atas justru mengalami kenaikan dengan daya beli yang terjaga. Kenaikan ini ditopang oleh return on investment (ROI) yang mereka peroleh dari saham maupun obligasi.
Kenaikan harga bahan makanan, gaji bulanan yang stagnan, apalagi pada awal tahun 2025 nanti pemerintah akan menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12%. Ditambah lagi akan ada kenaikan harga bahan bakar dan energi, kenaikan premi bulanan untuk asuransi kesehatan nasional, kenaikan biaya kereta api komuter. Tentu beberapa hal ini justru akan membuat para masyarakat kelas menengah semakin tercekik.Â
Hal tersebut juga linear dengan hasil survei Inventure 2024 mengenai Indonesia Market Outlook 2025 yang menunjukkan bahwa sebanyak 49% masyarakat kelas menengah mengalami penurunan daya beli dan dari jumlah itu sebanyak 85% mengatakan mereka mengalami penurunan daya beli karena kenaikan harga kebutuhan pokok.
Apabila hal ini terus berlanjut, rencana untuk lepas dari middle income trap hanya akan menjadi angan-angan belaka. Padahal, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menargetkan Indonesia untuk bisa lepas dari middle income trap mulai tahun 2030. "Ada target lepas dari middle income trap itu diperkirakan tahun 2030-2032, dan GDP kita diperkirakan US$ 12.000 dengan penduduk kita pada waktu itu mencapai 300 juta (orang). Maka ekonomi kita pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp 3 triliun jadi tiga kali ekonomi hari ini," kata Airlangga.Â
Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, juga mengatakan bahwa penguatan kelas menengah merupakan hal yang penting untuk Indonesia bisa keluar dari middle income trap.
"Ada target lepas dari middle income trap itu diperkirakan tahun 2030-2032, dan GDP kita diperkirakan US$ 12.000 dengan penduduk kita pada waktu itu mencapai 300 juta (orang). Maka ekonomi kita pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp 3 triliun jadi tiga kali ekonomi hari ini."
Abdul Manap Pulungan juga meminta pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan daya beli masyarakat dan justru harus memberi insentif mengingat kondisi kelas menengah yang saat ini sedang dalam tekanan. Ia juga mengatakan bahwa kelas menengah perlu mendapatkan perhatian karena kontribusinya terhadap perekonomian cukup besar, yakni mencapai 35% sehingga penurunan daya beli ini tentu dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.Â
Tidak hanya itu, kelompok kelas menengah juga berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan secara khusus bahwa kelompok kelas menengah umumnya akan berinvestasi besar-besaran untuk pendidikan mereka sendiri dan anak-anak mereka sehingga dapat meningkatkan porsi kualitas sumber daya manusia saat ini dan di masa depan.Â
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini telah menetapkan rencana dan menarget masyarakat kelas menengah mencapai 80% pada tahun 2045 mendatang. Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yakni agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 6-7%, memberdayakan kelas menengah merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan tersebut.
Keberadaan kelas menengah yang kuat dan sejahtera tentu akan mendukung laju ekonomi serta masyarakat yang sehat. Mereka mereka tidak hanya meningkatkan posisi mereka sendiri, tetapi juga posisi orang lain. Investasi kelas menengah dalam pendidikan, kesehatan, perumahan, dukungan mereka terhadap layanan publik yang berkualitas, ketidaktoleranan mereka terhadap korupsi, kepercayaan mereka terhadap orang lain dan lembaga-lembaga demokratis merupakan dasar-dasar pondasi utama dari pertumbuhan yang inklusif.Â
Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat menutup mata dan memandang sebelah mata kelas menengah serta diharapkan peran pemerintah yang proaktif terhadap kalangan menengah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H