Sejumlah ekonom yang beberapa di antaranya berada di LPEM-UI juga telah memprediksi terkait dengan jumlah kelas menengah di Indonesia yang terus mengalami penyusutan. Pada periode 2018-2023, populasi kelas menengah menyusut dari angka 23% menjadi sekitar 17% - 18%. Para ekonom berpendapat bahwa fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis moneter, penyusutan jasa di sektor manufaktur, meningkatnya inflasi, layoff besar-besaran oleh perusahaan, serta kenaikan pajak konsumsi oleh pemerintah baru-baru ini.
Sebenarnya, tidak ada definisi universal terkait dengan apa yang disebut kelas menengah atau cara untuk mengukurnya. World Bank sendiri mendefinisikan kelas menengah di Indonesia dengan mereka yang memiliki pengeluaran bulanan antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per orang. Sementara itu dalam data BPS terbaru tahun 2024, kelas menengah didefinisikan sebagai mereka yang menghabiskan antara 2 hingga 9 juta rupiah per bulan.Â
Namun, World Bank secara umum mengklasifikasikan kelas menengah sebagai mereka yang berada dalam keamanan ekonomi, terbebas dari kekhawatiran kemiskinan moneter, serta mereka yang mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka pada konsumsi diskresioner, barang-barang konsumsi tidak penting yang mewakili keinginan dan bukan kebutuhan.
Namun, apa yang diklasifikasikan kelas menengah oleh Bank Dunia tidak tecermin dalam kehidupan masyarakat kelas menengah saat ini. Faktanya, kelas menengah di Indonesia tengah mengalami tekanan ekonomi dan rentan untuk jatuh pada garis kemiskinan. Tidak benar-benar kaya, tetapi juga tidak cukup miskin untuk menerima subsidi, itulah yang dirasakan oleh masyarakat kelas menengah saat ini.Â
Bagaimana dengan kelas atas? Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan bahwa kelas menengah dan bawah lah yang saat ini paling merasa tertekan. Ia mengatakan bahwa tabungan kelompok atas justru mengalami kenaikan dengan daya beli yang terjaga. Kenaikan ini ditopang oleh return on investment (ROI) yang mereka peroleh dari saham maupun obligasi.
Kenaikan harga bahan makanan, gaji bulanan yang stagnan, apalagi pada awal tahun 2025 nanti pemerintah akan menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12%. Ditambah lagi akan ada kenaikan harga bahan bakar dan energi, kenaikan premi bulanan untuk asuransi kesehatan nasional, kenaikan biaya kereta api komuter. Tentu beberapa hal ini justru akan membuat para masyarakat kelas menengah semakin tercekik.Â
Hal tersebut juga linear dengan hasil survei Inventure 2024 mengenai Indonesia Market Outlook 2025 yang menunjukkan bahwa sebanyak 49% masyarakat kelas menengah mengalami penurunan daya beli dan dari jumlah itu sebanyak 85% mengatakan mereka mengalami penurunan daya beli karena kenaikan harga kebutuhan pokok.
Apabila hal ini terus berlanjut, rencana untuk lepas dari middle income trap hanya akan menjadi angan-angan belaka. Padahal, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menargetkan Indonesia untuk bisa lepas dari middle income trap mulai tahun 2030. "Ada target lepas dari middle income trap itu diperkirakan tahun 2030-2032, dan GDP kita diperkirakan US$ 12.000 dengan penduduk kita pada waktu itu mencapai 300 juta (orang). Maka ekonomi kita pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp 3 triliun jadi tiga kali ekonomi hari ini," kata Airlangga.Â
Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, juga mengatakan bahwa penguatan kelas menengah merupakan hal yang penting untuk Indonesia bisa keluar dari middle income trap.
"Ada target lepas dari middle income trap itu diperkirakan tahun 2030-2032, dan GDP kita diperkirakan US$ 12.000 dengan penduduk kita pada waktu itu mencapai 300 juta (orang). Maka ekonomi kita pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp 3 triliun jadi tiga kali ekonomi hari ini."
Abdul Manap Pulungan juga meminta pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan daya beli masyarakat dan justru harus memberi insentif mengingat kondisi kelas menengah yang saat ini sedang dalam tekanan. Ia juga mengatakan bahwa kelas menengah perlu mendapatkan perhatian karena kontribusinya terhadap perekonomian cukup besar, yakni mencapai 35% sehingga penurunan daya beli ini tentu dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.Â