Di Indonesia, dinasti politik bukanlah hal yang baru, dinasti politik telah ada dan bahkan berkembang sepanjang sejarah, baik dalam politik lokal maupun nasional, dari era Orde Baru hingga pemerintahan Indonesia yang lebih modern. Kekuasaan politik terdistribusi secara tidak merata akibat adanya dinasti politik. Untuk menjamin warga negara terlibat aktif dalam proses politik, negara demokratis harus membuka keran politik selebar mungkin. Masyarakat harus memiliki akses yang sangat luas untuk berpartisipasi dalam kontes politik regional dan nasional. Namun, karena status sosial dan hak-hak mereka yang sangat berbeda, kebangkitan politik dinasti justru membuat masyarakat semakin sulit untuk berpartisipasi. Karena politik dinasti mendorong keluarga atau kerabat penguasa untuk menduduki jabatan publik, politik dinasti juga meningkatkan pragmatisme politik (Gunanto, 2020).
Politik memiliki dampak yang signifikan terhadap perjalanan suatu bangsa dan negara. Dinamika politik yang konstruktif dan positif mempengaruhi perkembangan bangsa dan negara. Negara yang memiliki dinamika politik yang negatif dan merugikan akan menjadi lemah dan mengalami kemunduran yang berkelanjutan. Politik berdampak pada banyak aspek kehidupan bernegara dan memiliki kekuatan untuk mengubah struktur politik suatu bangsa (Laila Kholid Alfirdaus, Uci Dewi Purwanti. 2020).
Publik kembali mendiskusikan isu-isu seperti keberadaan demokrasi oligarkis dan praktik “pemberian” posisi kepada anggota keluarga dalam struktur kekuasaan, yang terkadang dikenal sebagai dinasti politik. Politik kekerabatan menunjukkan bahwa dasar-dasar monarki dan feodalisme belum sepenuhnya bergeser, nepotisme dan kerja sama, bukan meritokrasi, adalah kekuatan fundamental di balik pemilihan umum, tujuan dari upaya politik dinasti untuk tetap berada di luar kerangka kerja demokratis adalah untuk menghindari konsolidasi kekuatan politik dalam satu kelompok, cengkeraman kekuasaan oleh satu kelompok menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perilaku korup (Hauyyine Sucipto, dkk. 2023).
Untuk mempertahankan kontrol di dalam partai politik dan otoritas di tingkat lokal, negara bagian, dan federal, dinasti politik terus membangun jaringan kekuasaan yang kuat. Akibatnya, dinasti-dinasti politik ini dapat mengendalikan partai dan memberantas demokrasi. Di lingkungan sosial, ada juga bukti upaya untuk menegakkan status quo di daerah dengan menekan anggota keluarga dekat dan otoritas lokal untuk melancarkan gugatan terhadap petahanan (Susanti, 2017).
Dinasti-dinasti yang mencederai demokrasi di Indonesia mendorong para pendiri negara untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, di mana kepentingan rakyat lebih diutamakan daripada kepentingan penguasa atau kelompok-kelompok tertentu. Hal ini terlihat jelas dalam Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, khususnya sila keempat, yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia menganut paham demokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung dan bahwa rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang disebut dengan kedaulatan rakyat (Abdul Mu’id Aris Shofa, 2011).
Meskipun demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat berdasarkan Pancasila, atau demokrasi Pancasila berdasarkan kerakyatan yang dipandu oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, namun politik dinasti merupakan tantangan di negara demokrasi yang menghambat proses pengokohan demokrasi. Demokrasi yang muncul di Barat bersifat kuantitatif, berdasarkan gagasan bahwa yang banyak selalu benar dan yang kuat selalu berkuasa. Sebaliknya, demokrasi Pancasila lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas dan hanya menggunakan pemungutan suara (yang bersifat kuantitatif) jika musyawarah tidak memungkinkan (Tjarsono, Ijang. 2013).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui berbagai literatur dan sumber informasi, dapat diketahui bahwa adanya politik dinasti di Indonesia dapat memberikan ancaman terhadap demokrasi Indonesia.
Proses pengorganisasian regenerasi kekuasaan oligarki dengan tujuan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dikenal sebagai politik dinamis. Keluarga yang terlibat dalam politik untuk mendapatkan posisi kekuasaan dalam pemerintahan dikenal sebagai politik dinamis. Kemampuan sebuah keluarga untuk berkembang dan mempertahankan kekuasaan setelah pendiri dinasti menyelesaikan masa jabatannya disebut sebagai politik dinasti (Laila Kholid Alfirdaus, Uci Dewi Purwanti. 2020).
Menurut Marcuz Mietzner (2009), politik dinasti masih memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik Indonesia saat ini. Ia mengatakan bahwa dinasti politik adalah penyakit dalam demokrasi. Kemampuan untuk mengontrol pemerintah, yang sangat penting dalam demokrasi, dilemahkan oleh politik dinasti. Karena elit politik dalam sistem ini ditentukan oleh pernikahan atau hubungan darah, banyak analis politik menyebut dinasti politik sebagai oligarki politik. Elit politik di Indonesia memiliki kapasitas untuk mempengaruhi prosedur pengambilan keputusan politik. Dalam pemilihan umum, mereka merasa relatif mudah untuk mendapatkan kontrol.
Ancaman datang dari dinasti politik yang mulai melanda Indonesia. Selain menghalangi jalan bagi para pemimpin yang cakap, dinasti politik juga dapat memunculkan jenis despotisme yang berbeda. Dinasti politik tidak baik untuk daya saing perusahaan baik secara politik maupun ekonomi. Kerabat pemerintah telah diamati membantu kebijakan ekonomi di sejumlah negara, terutama Indonesia. Meskipun negara demokratis harus menyediakan sebanyak mungkin saluran politik untuk menjamin bahwa warga negara secara aktif terlibat dalam proses politik, kemunculan dinasti politik menyebabkan ketidakadilan dalam alokasi kekuasaan politik (Adinata, A. C., Saputra, N. K., & Devisepte, O. S. 2023).
Politik dinasti telah menjadi penyakit dalam kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia. Segala upaya dan strategi yang dilakukan oleh pihak berkuasa untuk memberikan jabatan berdasarkan "ikatan keluarga" dapat menghambat dan mempersulit partisipasi masyarakat dalam kontestasi politik di negara demokrasi. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan keluarga untuk mendukung calon tersebut, sehingga menciptakan perbedaan status sosial dan kekuatan politik dengan calon lainnya. Indikasi campur tangan pemerintah yang berkuasa dalam suatu kontestasi politik terhadap calon yang memiliki ikatan keluarga menciptakan stigma buruk di tengah masyarakat dan kemudian mengarah terhadap isu dugaan politik dinasti dalam suatu pemerintahan (Dewi, Asita. Dkk. 2023).
Demokrasi dijunjung tinggi oleh Indonesia, di mana setiap orang memiliki hak untuk memilih dan menduduki jabatan publik. Selama rakyat mempercayainya, setiap warga negara berhak menduduki jabatan politik. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, politik dinasti tumbuh dan berkembang. Kemunculan politik dinasti berpotensi membatasi kebebasan rakyat, menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten, dan memunculkan neo-tiranisme, yaitu tirani dalam bentuk baru (Dewi, Susi Fitria. 2017).
Kemenangan putra sulung dan menantu Jokowi dalam pilkada 2020 semakin membangkitkan isu politik dinasti di Indonesia. Presiden Jokowi dianggap ingin melanggengkan kekuasaan dengan menyukseskan orang-orang di pihaknya menjadi penguasa melalui berbagai macam manuver politik yang halus. Perkembangan isu politik dinasti pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo kemudian semakin menguat dengan adanya upaya untuk meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Dalam hal ini diduga terdapat suatu manuver politik yang dilakukan sehingga pada akhirnya menghasilkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Putusan tersebut pada akhirnya berhasil membawa Gibran lolos menjadi cawapres dalam kontestasi pemilu 2024. Adanya dinamika politik yang mewarnai pengusungan Gibran sebagai calon wakil presiden menimbulkan anggapan bahwa terdapat politik by design oleh pemerintah yang berkuasa dengan melibatkan koneksi dan ikatan kekeluargaan dalam kelembagaan negara (Susanti, M. H. 2017).
Maraknya mencuat isu politik dinasti di akhir masa kepemimpinan presiden Joko widodo menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat tentang bagaimana nantinya politik dinasti ini dapat menciptakan peluang bagi keluarga petahana dalam menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan golongan. Namun, disatu sisi juga tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama dalam partisipasi politik di Indonesia (termasuk putra presiden sekalipun) (Hidayati, N. 2014).
Politik dinasti di Indonesia menurut Zulkieflimansyah yakni politik dinasti yang terjadi dapat dianggap sebagai mesin politik yang selalu berorientasi pada kekuasaan sehingga tidak optimal dalam menjalankan fungsi partai secara ideal. Selain itu, rekrutmen terhadap pemilihan yang didasarkan pada popularitas dalam meraih kemenangan sehingga tidak melalui proses kaderisasi. Kemudian, partisipasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang berkualitas akan tertutup karena sirkulasi kekuasaan hanya berputar terus menerus di kalangan elit, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya negosiasi dalam menjalankan tugas kenegaraan. Kesulitan dalam mewujudkan demokrasi dan memperkecil peluang terwujudnya sistem pemerintahan yang baik dan bersih dikarenakan semakin lemahnya kontrol terhadap kekuasaan. Sehingga menyebabkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif dan menimbulkan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti kolusi, nepotisme dan korupsi (Gunanto, D. 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H