Demokrasi dijunjung tinggi oleh Indonesia, di mana setiap orang memiliki hak untuk memilih dan menduduki jabatan publik. Selama rakyat mempercayainya, setiap warga negara berhak menduduki jabatan politik. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, politik dinasti tumbuh dan berkembang. Kemunculan politik dinasti berpotensi membatasi kebebasan rakyat, menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten, dan memunculkan neo-tiranisme, yaitu tirani dalam bentuk baru (Dewi, Susi Fitria. 2017).
Kemenangan putra sulung dan menantu Jokowi dalam pilkada 2020 semakin membangkitkan isu politik dinasti di Indonesia. Presiden Jokowi dianggap ingin melanggengkan kekuasaan dengan menyukseskan orang-orang di pihaknya menjadi penguasa melalui berbagai macam manuver politik yang halus. Perkembangan isu politik dinasti pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo kemudian semakin menguat dengan adanya upaya untuk meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Dalam hal ini diduga terdapat suatu manuver politik yang dilakukan sehingga pada akhirnya menghasilkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Putusan tersebut pada akhirnya berhasil membawa Gibran lolos menjadi cawapres dalam kontestasi pemilu 2024. Adanya dinamika politik yang mewarnai pengusungan Gibran sebagai calon wakil presiden menimbulkan anggapan bahwa terdapat politik by design oleh pemerintah yang berkuasa dengan melibatkan koneksi dan ikatan kekeluargaan dalam kelembagaan negara (Susanti, M. H. 2017).
Maraknya mencuat isu politik dinasti di akhir masa kepemimpinan presiden Joko widodo menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat tentang bagaimana nantinya politik dinasti ini dapat menciptakan peluang bagi keluarga petahana dalam menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan golongan. Namun, disatu sisi juga tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama dalam partisipasi politik di Indonesia (termasuk putra presiden sekalipun) (Hidayati, N. 2014).
Politik dinasti di Indonesia menurut Zulkieflimansyah yakni politik dinasti yang terjadi dapat dianggap sebagai mesin politik yang selalu berorientasi pada kekuasaan sehingga tidak optimal dalam menjalankan fungsi partai secara ideal. Selain itu, rekrutmen terhadap pemilihan yang didasarkan pada popularitas dalam meraih kemenangan sehingga tidak melalui proses kaderisasi. Kemudian, partisipasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang berkualitas akan tertutup karena sirkulasi kekuasaan hanya berputar terus menerus di kalangan elit, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya negosiasi dalam menjalankan tugas kenegaraan. Kesulitan dalam mewujudkan demokrasi dan memperkecil peluang terwujudnya sistem pemerintahan yang baik dan bersih dikarenakan semakin lemahnya kontrol terhadap kekuasaan. Sehingga menyebabkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif dan menimbulkan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti kolusi, nepotisme dan korupsi (Gunanto, D. 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H