Motivasi BelajarMenurut konsep para ahli filsafat, tidak semua tingkah laku manusia dikendalikan oleh akal, namun tidak banyak pula hal yang telah dilakukan manusia diluar kendalinya. Maka dari itu, terbentuklah sebuah pendapat bahwa manusia selain menjadi makhluk rasionalistik, manusia juga sebagai makhluk mekanistik. Artinya, manusia dikendalikan oleh sesuatu yang diluar nalar (Chaplin,2001 dalam Saleh & Wahab 2005)Motivasi sangat berkaitan dengan anggapan bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah dengan tujuan untuk memenuhi segala kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Teori ini menurut Mashlow terdapat urutan kebutuhan individual yang harus dipuaskan terlebih dahulu yaitu :
Fisiologis
Keamanan
Cinta dan rasa memiliki
Harga diri
Aktualisasi diri
Kebutuhan dan dorongan / motivasi istilah yang digunakan secara bergantian dalam psikologi, akan tetapi kebutuhan lebih mengacu pada kebutuhan yang bersifat psikologis dari suatu kebutuhan. (Shaleh dan Wahab, 2005)
Motivasi belajar secara umum adalah sesuatu / seseorang yang menjadi semangatnya dalam belajar yang menjamin keberlangsungannya ptoses belajar, dan memberikan arah dalam kegiatan belajar, dengan tujuan agar taercapainya hasil yang diinginkan
Penyakit Autisme
Autis atau biasa disebut autism spectrum disorder adalah sebutan bagi orang-orang yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari atau yang disebut juga dengan neurobehaviour. Tanda seseorang menunjukkan gejala gangguan autis biasanya dapat diamati pada tahun ketiga setelah lahir. Namun, tidak sedikit juga yang sudah mengidap autis sejak lahir.
Gangguan autisme memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat diamat. Umumnya, ciri ini dapat dilihat sejak usia mereka masih anak-anak. Berikut ini adalah ciri-ciri dari gangguan autisme :
Mengalami masalah sosial
Susah berkomunikasi
Menunjukkan minat atau perilaku yang tidak biasa
Gejala lainnya
Upaya Terapi ABA (Applied Behavior Analysis) bagi Penyandang Autis
Pada laman https://media.neliti.com/ membagikan upaya terapi ABA pada anak penyandang autis. ABA atau analisis perilaku terapan adalah terapi yang dapat diterapkan untuk anak-anak dan orang dewasa pengidap autis. Terapi ini dirancang untuk memunculkan atau mengubah perilaku positif pada orang tersebut. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan sistem penghargaan. Setiap perubahan atau perilaku positif yang muncul, akan diberikan penghargaan.
Menurut Lovaas kunci kesembuhan anak penyandang autisme ada dua cara, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA dan intervensi biomedis. Metode ABA ini ternyata digunakan pertama kali oleh Lovaas. Jadi, metode ini dikenal dengan sebutan ABA Lovaas. Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Lovaas pada tahun 1967. Sedangkan intervensi biomedis diperlukan untuk membenahi kerusakan sel-sel tubuh akibat keracunan logam berat dan mengusir kendala-kendala yang menghalangi masuknya nutrisi ke otak. Intervensi biomedis ini menuntut anakk unyuk menjalani diet tertentu.
Kemudian, menurut artikel badanbahasa.kemdikbud.go.id, terapi dengan metode ABA Lovaas menggunakan sistem memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/ pujian). Selain untuk penyandang autis, metode ini juga dapat diterapkan kepada anak-anak dengan perilaku khusus lainnya bahkan siswa normal sekalipun.
Tujuan dari metode ABA adalah untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi masalah khusus/khas/kelaianan dalam berperilaku. Metode ABA menerapkan prinsip--prinsip sistematis untuk meningkatkan perilaku yang signifikan secara sosial dan menggunakan ekperimentasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang bertanggung jawab terhadap perubahan perilaku. Kurang lebih 15 tahun yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama Ivar O Lovaas dari University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat (AS), menerapkan metode ABA kepada anak--anak autis.
Lovaas menggunakan metode ini dengan sangat terstruktur untuk memudahkan mengukur hasilnya, metode ABA memiliki teknik dan tahapan--tahapan yang jelas dalam penerapannya serta memiliki cara tersendiri dalam menentukan hasil evaluasi. Tata laksana metode ABA memiliki ciri ketegasan dalam memberikan instruksi namun tanpa kekerasan, perilaku dasar yang diterapkan memberikan stimulasi sensoris dan motoris yang cukup, tuntas, konsisten, dan berkelanjutan. Pendekatan dan penyampaian materi kepada siswa yang menggunakan metode applied behavior analysis (ABA) memiliki prinsip dasar seperti berikut.
Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus, untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten.
Tegas (tidak dapat ditawar- tawar anak).
Tanpa kekerasan dan tanpa marah/ jengkel.
Prompt (bantuan, arahan) secara tegas dan lembut.
Pada awalnya, terapis pada metode ABA akan mengamati anak untuk melihat sejauh mana kemampuan dan kesulitan yang anak Anda miliki.
Selanjutnya, ia akan menentukan tujuan spesifik dari terapi ini. Misalnya, tujuan spesifik terapi ABA anak Anda adalah agar bisa menatap mata orang yang mengajaknya bicara. Saat menentukan tujuan, terapis juga akan menentukan ukuran objektifnya, seperti seberapa banyak jumlah tatapan mata anak dalam 10 menit saat mengobrol. Untuk mencapai tujuan ini, terapis akan merancang rencana teknis serinci mungkin terkait aktivitas anak selama terapi.
Sebagai contoh, untuk membuat anak sukses membangun kontak mata, terapis akan melakukan hal berikut menurut laman https://hellosehat.com tentang parenting anak.
Duduk berhadapan sejajar dengan anak, bersama dengan asisten terapis yang biasanya ada di belakang anak.
Sepanjang terapi, terapis memanggil nama anak sambil memegang benda yang menarik sebagai pancingan. Benda itu akan terapis pegang sejajar dengan matanya, untuk memancing anak agar ia melihat ke arah mata terapis.
Terapis akan memanggil nama anak berulang kali sambil mengatakan kalimat perintah sederhana. Contohnya, "Mira, lihat" sambil tangannya mengarahkan ke arah benda yang menjadi pancingan.
Setiap respon tidak sesuai yang anak lakukan, terapis akan merespons dengan menjawab "tidak" atau "Mira, tidak".
Jika anak sudah bisa membangun kontak mata, terapis akan memberikan pujian pada anak, seperti "Mira pintar sekali". Terapis akan mengulang berbagai pujian ketika anak berhasil melakukan apa yang menjadi target.
Tatapan mata anak yang terapis lihat dalam 10 menit akan menjadi tolak ukur. Hal ini dapat menentukan sejauh mana tujuan spesifik tersebut telah tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H