Pada dasarnya dalam perkawinan, baik suami maupun  isteri, mempunyai hak yang setara  untuk menentukan arah jalannya rumahtangga yang ingin mereka bina. Relasi dan interaksi yang baik antara suami dan istri adalah sebuah cara untuk mewujudkan kebahagiaan dan ketenangan dalam rumah tangga (sakinah) yang diharapkan. Disamping itu, perlu adanya keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban antara suami istri yang dengganya diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga yang diberkahi.
Salahsatu isu yang sering menjadi pembahasan suami dan isteri, khususnya mereka yang termasuk kedalam generasi Z ( mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an) adalah konsep  keadilan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak sedikit dari masyarakat, baik akademisi ataupun non akademisi, yang menilai bahwa kebahagiaan rumahtangga harus dibangun diatas kesetaraan  antar kedua pihak sebagai pengganti dari konsep keadilan. Padahal sejatinya itu hanya strategi pembiasan dari misi terselubung kaum feminis untuk mengubur konsep Adil yang sudah mapan dalam ajaran Islam, dan menggantinya dengan konsep kesetaraan gender (equality) yang sebenarnya menyimpan kecacatan. Nah maka Artikel ini perlu membahas tentang konsep keadilan sebagai salahsatu khazanah kekayaan Islam, yang tercermin dalam dua issue utama, Tanggung jawab antar pasangan dan bagaimana cara mengambil keputusan atas setiap persoalan.
Konsep KeadilanÂ
Keadilan berasal dari bahasa Arab 'adalah () yang memiliki berbagai arti. Dalam kamus Lisan al-'Arab kata ini diartikan "lurus", maksudnya lurus menuju kebenaran dan tidak menyimpang karena mengikuti hawa nafsu. Adapun secara istilah adil adalah memberi dengan bijaksana sesuai kebutuhan serta menempatkan tuntunan itu pada tempat yang semestinya. Berlaku adil bisa kepada diri sendiri dan orang lain, Jadi tidak mesti kepada dua orang. Pemberian itu boleh saja menyenangkan yang satu tapi tidak bagi yang lain.
Dalam Islam, prinsip keadilan erat kaitannya dengan ajaran tauhid yang kokoh. Tauhid adalah tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang mutlak, Penguasa dari segala yang ada, sementara yang lain adalah makhluk atau ciptaan-Nya. Sang Pencipta memiliki entitas (wujud) yang jelas berbeda dengan makhluk-Nya. Pembedaan ini membawa konsekuensi bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, sementara semua manusia (laki-laki dan perempuan), kedudukannya setara sebagai makhluk-Nya.
Sebagai waujud keadilan, Islam memandang perempuan dan laki-laki itu adalah dua entitas (wujud) yang berpasangan seperti halnya makhluk lain yang juga berpasangan[1]. Pernyataan ini secara tidak langsung menyiratkan  makna bahwa keduanya memiliki persamaan sekaligus juga perbedaan. Mereka sama karena kedudukannya sebagai hamba Allah[2], mereka memiliki hak, tugas, dan tanggung jawab yang sama akan hal tersebut. Namun meskipun begitu Islam juga menekankan bahwa keduanya memiliki perbedaan fungsi, sesuai dengan fitrah atau kodrat yang dibawa oleh masing-masing. Fitrah atau kodrat manusia dalam pandangan Islam tidak sekedar fisik semata, melainkan psikis dan rohani juga. Oleh karena itu berpasangan  mengandung arti bahwa tiap individu saling membutuhkan satu dengan yang lain, tidak dapat berdiri sendiri dan tidak lengkap tanpa kehadiran yang lain.
Berbeda dengan Islam, kaum feminis memandang laki-laki dan perempuan sama dalam segala hal, kecuali biologisnya saja. Faktor biologis ini pun dibatasi hanya pada bentuk dan fungsi kelaminnya saja, yakni menstruasi dan hamil. Lepas dari itu, perempuan bebas dan tidak terikat oleh apapun. Batasan antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak ada. Sifat, kecenderungan, tindakan, dan perilakunya, dipandang berasal dari konstruksi budaya masyarakat saja. Hal ini tentu akan berimplikasi atas munculnya gagasan kesetaraan gender (equality) antara laki-laki dan perempuan dalam memenuhi semua aspek kehidupan.
Keadilan Dalam Mengemban Tanggungjawab
      Aturan hukum Agama Islam berpegang atas prinsip bahwa Islam  dalam masalah relasi pria dan wanita memandang adanya pihak yang memegang otoritas. Dalam rumahtangga, otoritas  dipegang oleh suami sebagai pihak yang memimpin, mengambil keputusan penting, dan memberikan arah bagi keluarga agar terciptanya rumahtangga yang harmonis dan seimbang. Namun sebagai Pemimpin yang baik, tentu ia tidak hanya membuat keputusan sendiri, tetapi juga melibatkan istrinya dalam proses pengambilan keputusan dan mempertimbangkan kepentingan seluruh anggota keluarga. Maka disini sang suami sangat diwajibkan agar pandai mendengarkan saran dari anggota keluarga selain tetap mendorong anggota keluarga untuk tumbuh dan berkembang bersama.
       Tanggungjawab yang setara pun dimiliki oleh isteri. Dalam konteks mengambil keputusan, istri dapat membantu suami dengan menjaga keseimbangan emosional, serta meningkatkan kualitas hubungan dan kehidupan keluarga secara keseluruhan. Emosi stabil yang dirasakan oleh suami saat mengambil keputusan, akan memudahkan pengambilan keputusan terbaik bagi keberlangsungan keluarga.
       Dalam konteks yang lebih luas, isteri bertanggungjawab untuk menjaga kehormatan dan harta yang dimiliki secara bersama, baik saat suami di rumah ataupun diluar rumah. Ia berperan untuk mengontrol pemasukan harta dari hasil kerja suami dan mengelola pengeluaran sesuai kebutuhan keluarga secara bijak. Maka dari itu, tugas ini akan mustahil dilakukan secara proporsional oleh suami, karena ia akan disibukkan oleh berbagai tugas di tempat bekerja.Â
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Siapakah wanita yang paling baik?" Jawab beliau, "Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak melawan  suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci" (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251.
Dalam riwayat lain bahkan  disebutkan, bahwa sebaik-baiknya isteri adalah yang membuat suami senang ketika melihatnya, menaati perintahnya dan menjaga kehormatan serta hartanya ketika suami tidak disampingnya.
      PenutupÂ
Dalam mewujudkan rumah tangga harus mengedepankan keadilan, kesalingan, seperti halnya saling bermusyawarah dan saling berbuat baik dalam pergaulan seperti yang diajarkan Islam melalui konsep keadilan. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya kesadaran dari kedua belah pihak supaya hak dan kewajiban sebagai suami istri dapat terpenuhi. Sesungguhnya dalam ajaran Islam hak dan kewajiban masing-masing pihak sangat diperhatikan. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa  ajaran Islam membawa kemaslahatan dan kerahmatan seluruh alam (rahmatan li al-alamin).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H