Faiz Amirudin (Mahasiswa Stiba Ar-Raayah)
      Al-Quran adalah firman Allah swt yang terpelihara kesuciannya dan jauh dari rekayasa tangan manusia. Bahkan ketika ayat demi ayat sampai ke telinga para pensyair Arab, mereka yakin bahwa Muhammad saw bukanlah orang dibalik penciptaan ayat al-Quran. Hal itu karena makna dan keindahan al-Quran tidak bisa disaingi oleh karya sastra manapun yang dibuat oleh manusia, apalagi oleh Muhammad seorang yang tidak bisa membaca juga menulis.
      Meskipun begitu, masih sering dijumpai segelintir orang yang menganggap ketidaksempurnaan al-Quran. Ayat-ayat yang tidak ilmiah, hukum Islam yang bertolak belakang dengan hak asasi manusia sampai adanya ayat-ayat yang kontradiksi adalah satu dari sekian banyak argumentasi yang mereka kemukakan. Ujung-ujungnya mereka ingin mempropagandakan isu "Rekonstruksi al-Quran" , yang bagi muslim dengan iman dan akal yang lemah, akan dengan mudah menerima propaganda tersebut bahkan mungkin mendukungnya.Â
      Bagi para orientalis, untuk menjatuhkan kredibilitas al-Quran dapat dilakukan dengan cara mempertentangkan satu ayat dengan ayat yang lain sehingga seakan keduanya kontradiksi. Semisal ayat 39 surat ar-Rahman yang berbunyi
 "Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya".
Dengan ayat 24 surat ash-Shaffat yang berbunyi
"Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya".
Di ayat pertama, al-Quran menyatakan bahwa manusia dan jin tidak akan ditanya tentang dosa-dosanya (la yusal 'an dzanbihi). Sedangkan di ayat kedua al-Quran justru menegaskan bahwa mereka akan ditanya di suatu tempat perhentian (innahum mas-uulun). Yang jika dirumuskan akan berbentuk
Proposisi pertama : manusia dan jin tidak akan ditanya
Proposisi kedua : mereka akan ditanya
Benarkah keduanya kontardiksi (law of contradiction) ?
       Untuk menjawab kesalahan logika para orientalis tersebut kita perlu menjelaskan terlebih dahulu tentang jenis-jenis pertanyaan. Pada umumnya pertanyaan itu dibagi dua jenis. Ada pertanyaan yang disampaikan dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu (li ta'lama), ada juga pertanyaan yang dimaksudkan agar orang yang ditanya menjadi saksi terhadap dirinya sendiri (yakunu masuul syaahidan 'ala nafsihi). Agar lebih mudah difahami, kita coba ambil contoh sederhana.
      Ketika seorang mahasiswa bertanya kepada dosen, kira-kira apa yang diinginkan oleh mahasiswa tersebut ?. tentu dia ingin mendapatkan ilmu baru, bukan untuk tujuan yang lainnya. Akan tetapi, ketika dosen bertanya kepada mahasiswa, apakah tujuannya ingin mencari ilmu ?. Tentu tidak, karena yang namanya dosen pasti lebih unggul daripada mahasiswa dalam penguasaan materi kuliah. Lantas untuk apa dosen bertanya ?. Ia bertanya agar mahasiswa menjadi saksi atas dirinya sendiri dihadapan dosen, apakah dia mereview materi minggu lalu atau tidak. Jika dia mengatakan "iya" namun faktanya tidak bisa menjawab, maka itu menjadi saksi bahwa dia belum mereview (muroja'ah) materi tersebut.
      Ayat pertama (ar-Rahaman : 39) memberi isyarat bahwa makna pertanyaan disana adalah untuk mendapatkan ilmu (alias makna pertama). Karena Allah swt jauh lebih mengetahui daripada makhluk-Nya, maka ayat tersebut berbentuk negasi sebagai isyarat bahwa Allah tidak perlu bertanya kepada mereka, sebab Dia Maha Tau. Dengan kata lain, manusia dan jin tidak akan ditanya tentang dosa mereka karena Allah swt jauh lebih tau dari mereka.
      Adapun makna pertanyaan pada ayat kedua (ash-Shafat: 24), bertujuan untuk  membuktikan kepada mereka orang-orang kafir bahwa hari perhitungan itu telah benar-benar terjadi. Atau dengan kata lain, agar mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa dugaan mereka semasa di dunia (yaitu tidak adanya hari kiamat), itu adalah dugaan yang tidak tepat. Juga ingin membuktikan ketidakberdayaan sesembahan mereka yang selalu mereka agung-agungkan. Maka jelas, pertanyaan disini bukan untuk mencari ilmu, melainkan untuk menempatkan mereka sebagai saksi atas kekeliruan mereka semasa di dunia.
Kesimpulannya, karena dua proposisi "pertanyaan" pada dua ayat tersebut menunjukkan kepada makna yang berbeda (meski lafadznya sama), maka keduanya tidak bisa diaanggap kontradiktif. Sebab salahsatu dari delapan syarat terjadinya kontradiktif  menurut perspektif ilmu logika (mantik) adalah kesatuan subjek (baik lafadz maupun makna) pada dua proposisi. Wallahu 'alam bish shawwab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H