Benarkah keduanya kontardiksi (law of contradiction) ?
       Untuk menjawab kesalahan logika para orientalis tersebut kita perlu menjelaskan terlebih dahulu tentang jenis-jenis pertanyaan. Pada umumnya pertanyaan itu dibagi dua jenis. Ada pertanyaan yang disampaikan dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu (li ta'lama), ada juga pertanyaan yang dimaksudkan agar orang yang ditanya menjadi saksi terhadap dirinya sendiri (yakunu masuul syaahidan 'ala nafsihi). Agar lebih mudah difahami, kita coba ambil contoh sederhana.
      Ketika seorang mahasiswa bertanya kepada dosen, kira-kira apa yang diinginkan oleh mahasiswa tersebut ?. tentu dia ingin mendapatkan ilmu baru, bukan untuk tujuan yang lainnya. Akan tetapi, ketika dosen bertanya kepada mahasiswa, apakah tujuannya ingin mencari ilmu ?. Tentu tidak, karena yang namanya dosen pasti lebih unggul daripada mahasiswa dalam penguasaan materi kuliah. Lantas untuk apa dosen bertanya ?. Ia bertanya agar mahasiswa menjadi saksi atas dirinya sendiri dihadapan dosen, apakah dia mereview materi minggu lalu atau tidak. Jika dia mengatakan "iya" namun faktanya tidak bisa menjawab, maka itu menjadi saksi bahwa dia belum mereview (muroja'ah) materi tersebut.
      Ayat pertama (ar-Rahaman : 39) memberi isyarat bahwa makna pertanyaan disana adalah untuk mendapatkan ilmu (alias makna pertama). Karena Allah swt jauh lebih mengetahui daripada makhluk-Nya, maka ayat tersebut berbentuk negasi sebagai isyarat bahwa Allah tidak perlu bertanya kepada mereka, sebab Dia Maha Tau. Dengan kata lain, manusia dan jin tidak akan ditanya tentang dosa mereka karena Allah swt jauh lebih tau dari mereka.
      Adapun makna pertanyaan pada ayat kedua (ash-Shafat: 24), bertujuan untuk  membuktikan kepada mereka orang-orang kafir bahwa hari perhitungan itu telah benar-benar terjadi. Atau dengan kata lain, agar mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa dugaan mereka semasa di dunia (yaitu tidak adanya hari kiamat), itu adalah dugaan yang tidak tepat. Juga ingin membuktikan ketidakberdayaan sesembahan mereka yang selalu mereka agung-agungkan. Maka jelas, pertanyaan disini bukan untuk mencari ilmu, melainkan untuk menempatkan mereka sebagai saksi atas kekeliruan mereka semasa di dunia.
Kesimpulannya, karena dua proposisi "pertanyaan" pada dua ayat tersebut menunjukkan kepada makna yang berbeda (meski lafadznya sama), maka keduanya tidak bisa diaanggap kontradiktif. Sebab salahsatu dari delapan syarat terjadinya kontradiktif  menurut perspektif ilmu logika (mantik) adalah kesatuan subjek (baik lafadz maupun makna) pada dua proposisi. Wallahu 'alam bish shawwab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H