Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Memoar Luka

21 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Wi aku berhutang terlalu banyak padamu, kau sudah terlalu banyak membantuku, jadi tolong berikan aku kesempatan untuk membayar sedikit hutang budiku" Sebuah ungkapan jujur dan tulus meluncur tegas dari bibirku

"Tidak ri kau tak perlu merasa berhutang padaku, aku justru berterima kasih kau mau menjadi sahabatku selama ini tanpa memperdulikan latar belakang masa laluku yang tak pernah kau tahu dan tak pernah kau pertanyakan" ucapmu dengan nafas yang berat

"Wi aku tak mau tahu dengan masa lalumu, seandainyapun di masa lalu engkau pernah membunuhku, itu tak akan mengurangi rasa persahabatan kita saat ini dan saat-saat indah yang kita lewati dengan penuh kebahagiaan dan mimpi-mimpi masa depan yang akan kita rengkuh bersama" Ungkapku tulus mencoba mencairkan kerasnya hatimu.

"Seandainya aku bisa lepas sepenuhnya dari masa laluku tanpa ada konsekuensi yang mesti kutanggung di saat ini, tentulah hari ini aku takkan menangis ri. Dan hanya itu yang bisa aku katakan, selebihnya biarlah waktu yang menjelaskannya padamu" Jawabmu lirih dan sungguh tak dapat kutangkap maksudnya

"Tidak wi, kau harus cerita, kau harus ingat dengan janji kita untuk sepenanggungan dikala senang maupun susah" sanggahku tak mau mengalah

"Sudahlah ri, hari sudah gelap, nantilah saya ceritakan, sekarang kita pulang saja dulu"

Tidak wi, kita tidak akan pulang sebelum kau ceritakan semua secara jujur dan terbuka akan masalahmu" ancamku untuk memaksamu terbuka

Kurasakan engkau menarik nafas panjang dan dalam keremangan senja masih dapat kutangkap guratan kesedihan yang menyelimuti jiwamu.

Baiklah jika kau memaksa, aku akan cerita, tapi bukan di tempat ini" sebuah jawaban yang sesaat melegakan hatiku, karena kau kemudian berjanji untuk menceritakannnya secara tuntas 3 jam kemudian di sebuah kafe di pinggiran kampus di tempat kita pertama kali berkenalan.

Aku takkan lupa wi dengan café itu. Karena dari situlah kisah persahabatan kita bermula. Di tempat itulah kau pertama kali memperkenalkan dirimu dan menawarkan diri untuk menjadi sahabatku, seolah-olah kau telah mengenal aku sebelumnya. Saat itu aku rasanya tak percaya seorang bidadari seanggun dirimu tiba-tiba muncul dan menawarkan persahabatan kepada seorang pecundang seperti diriku. Dan seiring waktu berjalan Kaupun menjelma menjadi dewi penolong dalam hidupku, hari-hariku kau warnai dengan pantulan energi positifmu sehingga hampir-hampir aku tak percaya dengan perubahan yang menyeruak dari diriku. Engkau mengajariku banyak hal tentang hidup dan sikap hidup, tentang ketulusan, tentang kegigihan dan kesabaran, tentang harapan dan mimpi-mimpi masa depan, tentang kemandirian dan kerja keras dan banyak hal yang sungguh mengisi hari-hariku dengan begitu optimis dan mengubur persoalan masa laluku yang tak pernah mau kau tahu dan kau tanyakan. Di mata orang-orang sekitar kita di kampus, di tempat kerja kita ataupun di mata orang-orang di sekitar pondokan selalu menyangka kita adalah sepasang kekasih karena eratnya persahabatan yang kita jalin, tentunyapun mereka akan selalu menganggap kita sebagai sepasang kekasih yang tidak serasi. Aku bisa memahami itu, dan mungkin saja hal itu merupakan bentuk kedengkian mereka terhadapku, bagaimana tidak, aku yang secara fisik sangat jauh untuk sekedar mendekati kriteria ganteng dan sangat bertolak belakang dengan dirimu yang elok laksana purnama dan memikat hati dan syahwat begitu banyak lelaki. Tak sedikit pria yang jauh lebih baik dan mapan dari diriku yang pernah mencoba mendapat cinta dan kasihmu namun selalu kau tolak dengan berbagai alasan. Akupun kemudian merasa spesial dihatimu walaupun kau sendiri selalu menolak diriku untuk menjadi kekasihmu, namun aku tak pernah kecewa karena sungguh kasih sayang yang engkau curahkan kepadaku melebihi curarahan kasih seorang kekasih sekalipun.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun