Seusai kemerdekaan, kritik terhadap madzab positivisme diserukan oleh Soepomo dan Soekanto yang memberi solusi epistemologi hukum adat sebagai kerangka politik hukum nasional. Gagasan ini luntur, dengan datangnya era Developmentalisme segala bidang ala orde baru.
Era Orde Baru, membutuhkan teknisi teknisi hukum yang bisa memberi jaminan kepastian hukum. Atmosfer ini menjadi tempat yang ramah bagi penanaman modal dari luar, dan mengarahkan hukum ke arah yang liberal.[21]Penyakit Hukum bersifat teknologis ini menghinggapi para penegak hukum, yang kemudian melahirkan kasus kasus yang telah disebutkan.
***
Jadi benarlah yang diungkapkan Mahfudz (2003), hukum adalah kristalisasi dari politik maupun kepentingan tertentu. Positivisme lahir dengan semangat bebas nilai dan semangat sekular. Positivisme digunakan pemerintah kolonial untuk mengunci perlawanan yang dilandasi semangat syariat islam, ia dipertentangkan (ironisnya) dengan hukum adat yang merupakan derivasi dari hukum islam sendiri.
Disisi lain, sifat legismenya yang serba teknis dan prosedural menjadi habitat bagi tumbuh kembang modal modal kapital bagi juragan yang membutuhkan kepastian hukum. Dan sudah bisa kita tebak, Kapitalisme adalah ancaman laten bagi bangsa ini.
Oleh Faizal Adi Surya, Anggota Biasa Kammi di Soloraya. Komisarisat Al Fath UMS, Fakultas Hukum UMS, Angkatan 2011
Â
Daftar Pustaka
Ali, Daud, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Rajagrafindo, 1999).
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiona (ed), Problem Globalisasi ; perspektif sosiologi, hukum, ekonomi, dan agama, 2000, (Surakarta : MUP)
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum, 2013, Yogyakarta ; Genta Publishing