Kelsen diduga terpengaruh Positivisasi pengetahuan yang bebas nilai yang disusun oleh Comte. Hal ini tidak lain, karena obsesi kelsen mensejajarkan ilmu hukum dengan ilmu eksakta yang memiliki pandangan dualisme. Prinsip dualisme membagi subjek dan objek, manusia dengan alam, penafsir dan teks. Objek haruslah netral dari kepentingan subjeksebagai salah satu syarat pengetahuan. Dalam konteks penegakan hukum. Hukum yang berarti objek, haruslah berjarak dengan kepentingan subjek (penegak hukum), meskipun subjek memiliki nurani yang bervisi keadilan.[9]
Di Indonesia, Paradigma ini mulai diberlakukan sejak tahun 1847. Kemudian secara perlahan menjadi kekuatan hegemonic, untuk kemudian membungkan paradigma lain, sehingga kemudian selalu menjadi pilihan antara berbagai paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi hukum dalam mengembangkan ilmunya.[10]
Hukum adat yang berkaitan dengan moralitas, maupun hukum islam yang kaya akan makna transendensi, tentunya bukan objek dari Positivisme sendiri, sehingga cenderung diabaikan. Positivisme yang berorientasikan kepada kepastian hukum, membuat keadilan substansial tersubordinat di bawahnya. Hukum menjadi serba mekanis dan manusia semakin teralienasi karena sifat dualismenya. Hukum terdefinisi semakin kaku dan hitam putih. Keadilan yang didambakan sulit didapatkan.
Hukum Adat dan Islam, sebuah eksemplar
Melihat rekam sejarah, Politik Hukum Kolonial memiliki kepentingan mengintegrasikan sistem hukum maupun ekonomi ke Negara jajahanya. Penanaman positivism erat kaitanya dengan politik hukum pada masa Kolonial. Hukum islam dan adat menjadi salah satu hambatan dalam hal ini, terutama hukum islam yang dikhawatirkan pemerintah kolonial jika terintegrasi dengan masyarakat.[11]
Hukum adat tumbuh dari kebiasaan dan perilaku dan tidak tertulis, sedang hukum islam diambil dari Qur’an, Hadist, dan kitab kita fiqh yang berbentuk aturan tertulis. Sungguhpun begitu, baik Van Vallenhoven (1987) maupun Soepomo (1996) menyebut keduanya memiliki ikatan yang kuat.[12] Syahrizal menambahkan, adat merupakan pelaksanaan dari syariat islam dalam keseharian.[13]
Awal VOC datang, kebijakan terhadap hukum islam mendapat perhatian dengan disusunya Compendium Freijer atau kitab kompilasi hukum islam.[14] Setelah VOC pergi, dan pemerintahan ditangani oleh Rafless, pemerintah memberiperhatian yang sama kepada hukum adat, dengan membentuk peradilan adat bagi perkara perkara kecil.[15]
Selepas Rafles pergi, Pemerintah Kolonial semakin memperhatikan Hukum adat, terutama dengan menetapkan tiga tokoh yaitu. G.A Wilken (1891), Lefrinck dan Snouck Horgronje, sebagai penstudi hukum adat.[16]Tugas ini dilanjutkan oleh Van Vallenhoven yang melakukan studi dengan tujuanpembirokrasikan hukum adat dalam bentuk aturan tertulis.[17]
Namun, dalam catatan Daniel Lev yang ditulis Syahrizal (2004), upaya ini sebenarnya untuk menjauhkan hukum adat dari substansi dan rohnya yang cenderung dinamis dan mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum adat hanya diambil normanya untuk dibakukan, sementara unsur kedinamisanya dipisahkan dari akar politik maupun ekonominya. Politik hukum ini, ujar Lev lebih terasa kepentingan kolonialismenya daripada unsur akademis.[18]
Lev menambahkan, penciptaan adatrecht atau Hukum adatdalam bentuk tertulis bertujuan untuk dilawankan dengan Hukum Islam yang sudah lama mapan dalam kitab kitab Fiqh.[19]Pertentangan dengan menjunjung tinggi hukum adat terhadap hukum islam melahirkan teori kelas bambu terhadap hukum islam. Pada waktu itu, pemerintah Kolonial menganut Teori Receptie, yang menyatakan bahwa hukum islam berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukulm adat.
Teori ini kemudian dikritik karena diduga mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan kolonial yang dijiwai hukum islam. Hazairin, dengan lantang menyebut teori ini sebagai teori Iblis.[20] Beberapa perlawanan diketahui memang bernafaskan islam terhadap pemerintah Kolonial, semisal Pemberontakan Diponegoro (1925-1930), maupun Pemberontakan Petani Banten yang diinisiasi oleh kaum sufi (1888).