Mohon tunggu...
Faizal Hadi Nugroho
Faizal Hadi Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Akademisi

Menulis membuatmu hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mendobrak Hegemoni Realita melalui Cerita Fantasi

29 Agustus 2021   12:56 Diperbarui: 29 Agustus 2021   12:56 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita fantasi atau imajinasi adalah cerita yang diajarkan pada kelas 7 semester satu. Cerita fantasi mengingatkan saya tentang Leonardo da Vinci yang membayangkan adanya alat untuk membantu manusia terbang, tetapi pada saat itu masih mustahil. Cerita fantasi juga mengingatkan saya tentang keberadaan lubang hitam yang dulu masih berupa teori dan baru terverifikasi setelah munculnya foto tentang lubang hitam. Cerita fantasi membangkitkan kreativitas menembus dinding kenyataan saat ini.

Untuk menulis cerita fantasi, berikut adalah beberapa langkah yang saya lakukan.

Pertama, tentukan kerangka cerita yang akan disusun. Tampaknya mudah, tetapi perlu wawasan tentang struktur, yaitu orientasi, komplikasi, dan resolusi. Secara mudah orientasi adalah pengenalan isi cerita, komplikasi adalah pemunculan konflik, konflik memuncak, hingga konflik mulai menurun, dan resolusi adalah masalah selesai dan cerita selesai. Namun, perlu diingat bahwa struktur tidaklah perlu berurutan. Wawasan kedua adalah kebahasaan, minimal memiliki wawasan tentang kalimat langsung tidak langsung, penulisan kata, dan tanda baca.

Kedua, kembangkan kerangka cerita. Kerangka cerita layaknya memberi raga dan jiwa pada cerita fantasi. Cerita fantasi bukanlah cerita nyata, tetapi dapat berangkat dari cerita nyata yang diberi keajaiban, kemustahilan, dan harapan dari penulis.

Ketiga, jangan lupakan bahwa cerita fantasi akan lebih baik jika berangkat dari realita yang ada, data, mantra, mitos, penelitian orang lain tentang dunia, fisika, apa pun yang diketahui oleh manusia maupun masih diharapkan oleh manusia. Cerpen perlu dibalut dengan beragam kata imajiner dan mudah dipahami oleh pembaca. Terakhir, jangan lupa sunting supaya cerpen lebih realistis berbingkai imajinasi nirbatas.

Pada cerpen ini, saya memanfaatkan mantra penangkap buaya yang termuat dalam buku Korrie Layun Rampan. Mantra Melayu tersebut memiliki budaya masyarakat di dekat rawa, religius, dan begitu menghormati alam. Saya pun memanfaatkan mitos buaya putih yang ada di masyarakat Jawa (pun dengan masyarakat lain) dengan membayangkan sesosok buaya yang besar, albino, dengan menambahkan asap keunguan untuk membedakannya dengan buaya albino yang memang ada di kehidupan nyata. Kemudian warna ungu saya singgung muncul di bulan dan memunculkan kausalitas mengapa tokoh dalam cerpen memiliki kekuatan dan pengalaman fantastis, sehingga cerita menjadi logis. Kemudian, saya sajikan cerita fantasi pada laman ini.

Rapal

Sudah tiga puluh tahun sejak bulan ungu muncul di langit. Semua manusia di dunia memiliki kekuatan supranatural. Supranatural di sini bukan berarti sihir semata, ya, makhluk halus pun hidup berdampingan dengan manusia. Sekolah-sekolah mengajarkan mata pelajaran supranatural, seperti bahasa Sanskerta dan Kawi, matematika dan weton, olahraga telekinesis, bahkan seni animagus di samping mata pelajaran umum, seperti IPA, bahasa Indonesia, IPS, dan lainnya. Aku mendapat pelajaran bahasa Sanskerta-Kawi hari ini daaan menyebalkan sekali. 

Jika kamu belajar aksara Jawa, itu adalah aksara Jawa modern lebih mudah pula, tetapi huruf Kawi, beda kasus. Mending aku belajar Hangeul atau Katakana sekalian, tetapi ya ini aku harus lulus dan mendapat nilai A. Huruf ini ampun banget! Susah! Tingkat SMP pun harus bisa membaca satu kitab Kawi dengan lancar supaya bisa lulus.

Hari ini ada kerja kelompok. Aku, Finto, dan Joana harus mengerjakan poster berbahasa Kawi yang didasarkan kegiatan penelitian kami selama tiga bulan lalu. Dasar kami suka molor, kami mengerjakannya mepet deadline. 

Suasana saat ini berbeda total dengan tiga puluh tahun lalu. Jika kamu mendengarkan cerita ayah atau kakekmu, mereka akan menceritakan bagaimana senangnya mereka untuk bisa keluar ngopi, mabar, hingga datang ke acara-acara pada malam hari. Sekarang ada jam malam karena "mereka" pasti keluar. 

"Ah, enak zamanku dulu, ngopi aman, mabar PUBG aman, nongkrong sama teman kampus sampai pagi di kampus ya oke saja. Duh, kalau sekarang, susah!" kata ayahku.

Jam malam adalah jam yang tidak mengizinkan manusia untuk keluar rumah. Banaspati, hantu, atau makhluk siluman akan muncul. Tahukah kamu, tidak hanya di Indonesia yang menerapkan jam malam? Semua negara di dunia seolah kembali ke masa lalu dan sesuai dengan mitos-mitos. Di Eropa, orang harus berhati-hati karena vampir bisa muncul pada malam hari dan mengganggu orang. Di Jepang, kamu tidak boleh keluar karena banyak orang diganggu oleh Sadako.

Kini, kami harus pulang. Kami keasyikan mabar sampai-sampai mengerjakan poster pada sore harinya. Orang tua Finto, pemilik rumah, sedang ada di Bali untuk menenangkan Naga yang bersemayam antara Pulau Jawa dan Bali. Naga itu mengamuk karena kapal-kapal feri mencemari lingkungan.

Kalau aku dan Joana tidak pulang alamat dimarahi habis-habisan. Ibuku adalah animagus, beliau mampu berubah menjadi hewan melata ketika marah. Aku pernah dililitnya karena tidak sengaja membakar Tupperware ketika aku bermain-main dengan mantra pemantik api. 

"Nggak! Aku nggak mau dililit atau dipecut sama ibu kalau pas jadi ular, hiii!" kataku.

Joana mengangguk.

Dengan nekat, kami memutuskan pulang.

Rumah kami dekat rawa dan kamu tahu kan apa yang ada di rawa? Ya apa lagi, buaya putih. Buaya biasa saja seram ini buaya putih. Ah, daripada dililit ibu, nanti kan tinggal lari kalau ketemu buaya putih. 

"Jangan, Bri, Jo, nggak aman, kamu kirim pesan saja ke rumah!" Namun, aku dan Joana lebih takut kalau ibu kami marah-marah. Joana tinggal di sebelah rumahku dan ibunya kalau marah bisa mengangkat tabung elpiji 12 kg sekali lirik. Membayangkan itu, aku dan Joana memantapkan diri untuk pulang.

Sepuluh meter pertama aman jaya! Rumahku dengan rumah Finto hanya berjarak 300 meter. Meter demi meter kami lalui. Tiba-tiba lampu yang aku bawa bergoyang, hawa mendingin, terdengar desir angin yang menggerakkan pohon-pohon bambu.

"Bri, ini kan pertanda ya." 

"Jo, jangan ngawur kamu! Possitive thinking!"

Lamat-lamat kami menengok ke belakang. Berharap ada orang dewasa yang dapat menemani kami. Orang dewasa jarang diganggu oleh makhluk supranatural karena mereka sudah matang dalam mengusir makhluk itu. Beda dengan kami remaja SMP yang hanya hafal cara-cara mengusir makhluk supranatural dengan kekuatan yang lebih kecil.

Benar ternyata, buaya putih! Buaya ini lebih besar daripada buaya biasa. Ini bukan buaya albino yang benar-benar buaya. Matanya bersinar memandang lurus ke arah kami. Asap hitam keunguan keluar dari mulutnya.

 Joana tersentak dan mengajakku lari cepat. 

"Lari, Bri!"

"Kamu kira aku bakal ngapain? Buat vlog? Lari, Jo, Lari!"

Lampu jalan berkedip-kedip menambah suasana ngeri. Aku mengingat-ingat lagi cara mengusir buaya yang pernah diajarkan oleh guru. Namun, aku lupa pun Joana. 

Aku pernah diajari oleh guru BK bahwa ketika kita lupa cobalah untuk menggenggam tangan kuat-kuat. Aku coba, tapi tidak juga ingat. Tetiba aku ingat dengan pelajaran bahasa Indonesia saat itu kami membahas mantra-mantra pada zaman dahulu. Aku teringat satu mantra.

"Pasu Jantan, pasu rencana
Tutup pasu, penolak pasu
Kau menentang kepada aku
Terjang mataku
Jantung kau sudah kugantung
Si pulut namanya usar
Berderailah daun selasih
Aku tutup hati yang besar
Aku gantung lidah yang fasik
Jantung kau sudah kugantung
Hati kau sudah kurantai
Rantai Allah, Rantai Muhammad
Rantai Baginda Rasul Allah"

"Hei, itu kan mantra penangkap buaya?" tanya Joana sambil berseru.

"Sudah, daripada nggak ada yang lain! Ayo bersama-sama!"

Kami mengucapkan mantra itu bersama-sama hingga tujuh kali kalau aku tidak salah hitung. Entah hawa menjadi lebih hangat. Aku beranikan diri menengok ke belakang. 

Hei! Buaya putih itu berhenti. Dia meronta-ronta seolah-olah ada rantai yang melilitnya. Aduh, peduli amat! Gas sampai ke rumah!

Di depan rumah ibu memandangku kesal. Matanya berubah seperti mata ular, kalau Joana aku tidak peduli juga, di sini nasibku juga sedang buruk. Kuceritakan semua yang kualami bersama Joana selama di perjalanan. Ibuku memelukku sambil berkata, "Kalau kamu ulangi lagi, nggak ada jatah uang buat beli voucer gim!" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun