Mohon tunggu...
Faizalyasindi
Faizalyasindi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Universitas Jember

Suka menulis dan membaca/Penggemar karya-karya Tere Liye dan Pramoedya Ananta Toer.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Udang di Balik Batu: Kedekatan Belanda dengan Republik Maluku Selatan

21 Juni 2023   11:27 Diperbarui: 21 Juni 2023   11:28 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Republik Maluku Selatan atau yang sering disebut RMS merupakan suatu gerakan separatisme yang dibentuk untuk tujuan membendung proses kembalinya RIS menjadi NKRI.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) memiliki tujuan yang sama dengan pemberontakan Andi Aziz, yaitu pembentukan KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).

Keberhasilan anggota APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) masyarakat Maluku Selatan merasa bersemangat dan optimis untuk kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia, namun keinginan tersebut mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Aksi teror terjadi akibat kontradiksi tersebut, sehingga tidak jarang korban meninggal dunia akibat aksi tersebut. Terlepas dari kejadian tersebut, benih-benih gerakan separatisme ini bertunas dan pemerintah setempat berusaha memprovokasi masyarakat Ambon untuk tetap waspada terhadap penggabungan wilayahnya dengan negara kesatuan Republik Indonesia.

Pada 20 April 1950, terjadi mosi tidak percaya di parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) dan selanjutnya masuk ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia, serta salah satu kegagalan Andi Aziz Pemberontakan itu berujung pada berakhirnya Negara Indonesia Timur.

Berakhirnya peristiwa tersebut menarik tanggapan dari Dr. Soumokil dan para pengikutnya. Mereka sangat yakin bahwa mereka tidak mau bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam perundingan Ambon, anggota KNIL dan Ir. Manusaman yang mengusulkan agar Maluku Selatan tetap menjadi wilayah merdeka, namun usulan ini segera menimbulkan suasana tegang karena ada usulan untuk membunuh semua anggota dewan di Maluku Selatan. Namun usulan anggota KNIL itu ditolak, bahkan anggota dewan mengusulkan agar proklamasi dilakukan langsung di Maluku Selatan, dipimpin langsung oleh sang proklamator, Johannes Hermanus Manuhutu.

Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS). RMS kemudian menjadi momok bagi separatis Indonesia karena menimbulkan banyak kontroversi baik dari pihak penerbit maupun latar belakang lahirnya gerakan separatis ini. Banyak latar belakang yang melatarbelakangi tumbuhnya gerakan RMS, salah satunya adalah faktor politik dengan adanya pemerintahan yang sentralistik.

Peran pemerintah yang mendominasi pemerintah daerah tidak hanya menarik banyak sumber ekonomi ke pusat, tetapi juga memfokuskan perhatian dan upaya pemerintah daerah untuk membuat pusat lebih terpenuhi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan masyarakat Maluku pada masa penjajahan Belanda.

Secara historis, Maluku dipengaruhi oleh konstruksi kolonialisme Belanda. Sejalan dengan kebijakan memecah belah (divide et impera), Belanda mendorong pembangunan pendidikan di Maluku Selatan secara diskriminatif. Orang-orang Kristen Maluku Selatan yang terpelajar banyak yang terserap ke dalam birokrasi Belanda, sedangkan yang tidak berpendidikan bergabung dengan tentara kolonial Belanda, membuat rakyat Maluku lebih nyaman dan sejahtera di bawah kepemimpinan Belanda saat itu.

Pasca kesepakatan politik untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda sangat berambisi untuk mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Karena keberadaan negara RIS, Belanda masih memiliki kesempatan untuk memberikan pengaruh melalui berbagai negara boneka. Mereka berjalan menuju fondasi kekuatan bangsa dan melebur baja persatuan bangsa Indonesia. Seperti virus yang menggerogoti pemikiran bangsa hingga akhirnya bersimpati dengan usaha mereka, seperti yang terjadi di Timor Timur.

Gerakan separatisme yang terjadi di Indonesia merupakan faktor fundamental yang ide dasarnya adalah faktor pendidikan. Pertama, orang-orang yang ingin memisahkan diri tidak lepas dari kurangnya pendidikan mereka untuk melihat sesuatu dengan bijak, sehingga orang dapat dengan mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk melepaskan diri dari Indonesia. Kedua, pendidikan masyarakat masih minim sehingga mereka tidak memiliki keahlian untuk menggali sumber dayanya, sehingga mereka iri dengan pendatang baru yang dapat memanfaatkan sumber daya alam daerah tersebut.

Pengibaran bendera Benang Raja dan dimulainya Pemberontakan RMS memiliki beberapa konsekuensi. Dampak utamanya adalah banyaknya korban di kedua sisi selama perlawanan. Selain itu, terjadi migrasi sekitar 15.000 orang Maluku ke Belanda karena diharapkan dapat mendukung pendirian RMS. Hal ini juga menyebabkan ketidakstabilan kondisi keamanan dan politik antar kelompok di wilayah Maluku.

Sebagai bekas negara penjajah, Belanda sejak awal mendukung RMS. Alasannya, Belanda diuntungkan dengan dukungan RMS karena integrasi bangsa Indonesia terancam. Hal itu dibuktikan dengan adanya pemberontakan RMS yang dibantu oleh para petinggi dan anggota KNIL serta izin kantor pemerintahan RMS untuk berada di Den Haag dari pemerintah Belanda.

Pada 1950-an, RMS adalah bagian dari politik memecah belah kolonialis. Belanda sengaja menciptakan banyak negara untuk mendukung keberadaannya di Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika pemerintahan RIS dinyatakan bubar dan menjadi Republik Indonesia, negara-negara bagian tersebut sebagian berubah menjadi gerakan pemberontak, seperti RMS pada masa Orde Lama.

Pasca penumpasan RMS dengan adanya Operasi Militer, Dr. Soumokil berhasil melarikan diri selama penumpasan gerakan RMS dan melanjutkan perang gerilya hingga akhirnya ditangkap pada tahun 1962 dan dieksekusi empat tahun kemudian.

Di Belanda RMS tidak menjadi gerakan politik yang dibiayai dari anggaran pemerintah, melainkan kelompok mandiri. Di Belanda yang demokratis, keberadaan RMS dipandang sebagai hak berserikat.

Awalnya kepindahan ke Belanda hanya bersifat sementara, namun penduduk Maluku berbondong-bondong ke Belanda secara masal karena keinginan nenek moyang mereka yang ingin hidup merdeka di negerinya sendiri. Rakyat Maluku juga berharap Belanda dapat membantu mereka memperoleh kemerdekaan. Hidup mereka juga lebih aman saat berkunjung ke Belanda. Pekerjaan, pelatihan, dan lain-lain dijamin di Belanda.

Momentum gerakan RMS berbalik arah setelah kerusuhan Maluku tahun 1999. Saat itu, gerakan separatis kembali mengemuka, terutama karena trauma konflik kekerasan antar kelompok. Kemudian muncul pemimpin baru, Dr. Alex Manukuti, sekretaris jenderal RMS, yang melarikan diri ke California pada tahun 2005. Namun RMS masih belum berkembang menjadi kekuatan politik besar yang didukung oleh angkatan bersenjata.

RMS kembali menemukan momentum kampanyenya pada 2007 ketika berusaha mengibarkan bendera RMS untuk Presiden SBY pada peringatan 14 tahun Hari Keluarga Nasional (harganas) di Lapangan Merdeka Ambon, Jumat 29 Juni 2007.

Saat itu, Presiden dikejutkan dengan puluhan penari Cakalele yang masuk ke lapangan. Saat Gubernur Maluku Albert Karel Ralahalu memberikan sambutan pada acara tersebut, para penari Cakalele turun ke lapangan dengan pakaian adat, bertelanjang dada, membawa parang dan tameng.

Mereka mulai menari di tengah hujan lebat. Saat mendekati panggung utama tempat Presiden SBY duduk, mereka membentuk formasi persegi dan salah satu penari di tengah berusaha mengibarkan bendera RMS. Para penari, yang diperkirakan berusia 19 tahun, kemudian ditahan.

RMS kembali mengambil tindakan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda atas tuduhan penganiayaan terhadap rekannya dalam tahanan pemerintah Indonesia. Presiden SBY sempat membatalkan kunjungannya ke Belanda karena gugatan tersebut, meski pengadilan setempat kemudian menolak gugatan tersebut.

Di Belanda bisa dibilang usaha RMS hanyalah simbolik. Bahkan mereka paham bahwa mereka harus bekerja sekeras mungkin untuk mendapatkan dukungan. Kedatangan SBY bisa menjadi waktu yang tepat bagi RMS untuk mendapatkan dukungan. Pembatalan kunjungan SBY dikabarkan terkait masalah harga diri bangsa. Namun, yang pasti riuhnya pembatalan kunjungan SBY yang dihubungkan dengan RMS justru mendongkrak harga publisitas RMS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun