Mohon tunggu...
Faiz Alfa
Faiz Alfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademistik

Suka menganalisa hal-hal receh yang terjadi di sekitar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memperbaiki Citra Makhluk Bernama Politik

10 Oktober 2022   22:28 Diperbarui: 10 Oktober 2022   22:34 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://voxntt.com

Beberapa hari yang lalu, tepatnya Kamis (12/02/2022), penulis mengambil buku Dasar-Dasar Ilmu Politik dari percetakan. Kenapa tidak beli di toko buku? karena membeli di sana harganya relatif mahal, dalam bahasa penulis "harganya tidak merakyat". Sedangkan, keinginan untuk mempelajari hal-hal baru terus menggelora. Maka, penulis mengakalinya dengan mencetak buku sendiri. 

Bahannya bisa diunduh secara gratis di Internet, berupa buku elektronik (e-book) yang lumrahnya tersedia dalam format ".pdf". E-book tadi penulis kirimkan ke percetakan yang menerima jasa cetak buku. Biaya mencetak buku bila dibandingkan dengan harga di toko buku resmi perbedaannya cukup jauh. Terkadang sampai dua kali lipat biaya cetak. 

Tindakan tadi disadari betul oleh penulis sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bahkan, jangankan mencetak buku-nya, tindakan men-download e-book dari luar situs resminya saja sudah merupakan tindakan ilegal. Tapi, kondisi ekonomi penulis yang bisa dikatakan kurang mampu, membuatnya kesulitan untuk membeli buku original. Serta, dalam kaidah ilmu fikih dijelaskan bahwa keadaan sulit bisa menyebabkan seseorang boleh melakukan hal-hal yang terlarang (al-masyaqqah tubikhu al-mahdhhurat). Mari kita kesampingkan terlebih dahulu masalah ini. 

*** 

Dalam pemahaman orang awam, politik memiliki citra dan representasi yang negatif. Ini adalah akibat dari tindakan para pelaku politik yang cenderung melanggar hukum. Padahal mereka-lah pembuat hukum itu. Tindakan seperti penculikan terhadap rival politik, pengangkatan pejabat publik yang hanya didasarkan pada kesamaan partai, pembuatan kebijakan-kebijakan yang rancu (bertentangkan dengan kebijakan lain atau bahkan bertentangan dengan undang-undang), dan yang paling terlihat: korupsi, membuat citra politik menjadi negatif. 

Tindakan-tindakan itu tidak bisa diketahui oleh orang awam jika tidak ada media yang mengabarkannya. Secara umum, informasi tentang politik dapat diketahui masyarakat karena jasa media informasi. Baik yang bersifat cetak seperti koran, majalah, tabloid; elektronik seperti televisi, radio; maupun yang bersifat online seperti website, media sosial, dan platform digital lain. Saat ini, yang paling banyak digunakan adalah media indormasi berbasis online (dalam jaringan) atau internet. 

Media informasi kebanyakan menampilkan informasi yang negatif. Korupsi misalnya. Bukan tanpa alasan, berita negatif cenderung menarik dan memancing perhatian pembaca untuk menyelaminya lebih dalam. Dalam buku Politik Kuasa Media, diungkapkan bahwa berita buruk adalah berita baik (bad news is good news). Kata 'baik' di sini adalah dalam artian menarik minat pembaca. 

Sebenarnya, masyarakat punya kemampuan untuk memilah-milah informasi mana yang ingin dia terima. Jadi, hal ini memungkinkan untuk tidak hanya informasi-informasi negatif mengenai politik yang didapatkan, tapi juga informasi positif. Hanya saja, dalam pengamatan penulis masyarakat kurang memanfaatkan kemampuannya tadi, sehingga pada akhirnya mereka hanya menjadi konsumen pasif dari sebuah arus informasi (passive reader). 

Media informasi berbasis online yang mempunyai sistem algoritma, membuat seseorang yang sudah mengonsumsi satu berita diarahkan untuk mengikuti berita lain yang masih ada kaitannya dengan berita pertama. Begitu seterusnya sehingga dia seperti berada dalam sebuah gelembung informasi. Dalam bahasa sehari-hari, informasi yang ditampilkan seputar "itu-itu saja". Inilah yang kemudian dinamakan bubble effect (efek gelembung). 

*** 

Politik, kata Guru Besar Ilmu Politik UI Miriam Budiarjo, sebenarnya adalah upaya untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Kemudian dari kata "upaya" ini, lahir beberapa alternatif cara. Sebagai contoh, untuk membangun bangsa yang baik memerlukan beberapa upaya, seperti peningkatan mutu pendidikan, pembangunan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. Upaya mana yang didahulukan? itulah politik. 

Dari segi bahasa, ada yang mengatakan bahwa politik berasal dari kata "polis" yang berarti kota. Yang mana dalam sebuah masyarakat negara-kota (city-state), kebijakan publik diputuskan melalui sebuah forum yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat. Ada pula yang mengatakan kalau politik berasal dari kata "politict" yang artinya cara. Terminologi yang kedua sesuai dengan definisi dari Miriam Budiarjo tadi, bahwa politik adalah cara untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. 

Beberapa ahli ilmu politik menempatkan negara sebagai inti dari gagasan politik. Meskipun ada juga beberapa ahli yang menempatkan kesuasaan sebagai pokok pembahasan. Tapi itu kita kesampingkan dulu, agar sesuai judul di atas. 

Dalam sebuah negara, terdapat beberapa bagian, seperti: wilayah, pemerintah, rakyat, dan undang-undang. Pemerintah (birokrat) sebagai salah satu komponen politik memiliki kekuasaan (power), wewenang (authority), dan kewajiban-kewajiban yang berdasarkan kepada konstitusi. Dengan wewenang dan kekuasaannya, pemerintah berhak membuat keputusan dan kebijakan publik. Dua hal inilah yang kemudian sering menjadi pemberitaan. 

Selain dua hal tadi, beberapa aspek yang memiliki sangkut-paut dengannya pun tak luput dari pemberitaan. Karena, sebuah keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melibatkan berbagai pihak. Ambil contoh keputusan menetapkan undang-undang dalam negara demokrasi. Sekurang-kurangnya pihak-pihak yang terlibat adalah wakil-wakil rakyat, para ahli di bidangnya, pemimpin negara, dan badan yudikatif. Dalam prosesnya, memungkinkan terjadinya dinamika-dinamika politik. Seperti lobbying yang membuat pelaku berusaha meyakinkan pihak lain. 

Dinamika itu akan lebih terasa apabila terdapat pihak dari luar yang berusaha ikut campur dalam proses penyusunan undang-undang. Sudah menjadi rahasia umum kalau ada beberapa wakil rakyat yang memiliki keterikaran dengan pelaku usaha. Wakil rakyat, sebelum menjabat, dibantu oleh pengusaha dengan kekuatan finansialnya untuk memperlancar jalan calon wakil rakyat dalam meraih kedudukan. Maka, sebagai "balas budi"nya wakil rakyat terpilih tadi, pengusaha menitipkan beberapa aturan agar diperjuangkan menjadi undang-undang, yang kemudian dikenal sebagai "pasal titipan". Kalau prosesi menitipkan aturan tadi diketahui pihak lain, jadilah berita. 

Pasal titipan tadi, kalau dirasa sulit diterima oleh forum, maka wakil rakyat yang dititipi akan mencari cara lain agar usulannya diterima. Diberikanlah sejumlah uang kepada wakil-wakil rakyat yang lain agar mereka mendukung usulan wakil rakyar yang dititipi tadi. Terjadilah peristiwa yang selama ini kita kenal sebagai "penyuapan" dan jadilah berita. 

Apabila cara-cara tadi tidak juga membuahkan hasil yang bagus, atau secara gamblangnya usulan tadi ditolak oleh forum, yang pada akhirnya tidak jadi ditetapkan sebagai undang-undang, pengusaha akan meminta uangnya dikembalikan. Wakil rakyat tadi tidak bisa tidak mengembalikan bantuan finansial yang dia terima, karena pengusaha mengancam akan membeberkan semua informasi yang tidak baik kepada khalayak ramai. Kemudian dikembalikan-lah uang itu. 

Bantuan finansial tadi, sedikit banyak telah digunakan oleh wakil rakyat untuk keperluan pribadi. Maka untuk menutup kekurangan uang yang harus dikembalikan, wakil rakyat secara ilegal mengambil kas negara atau apapun yang merupakan uang milik kolektif, yang seharusnya dialokasikan menurut keputusan bersama. Pengalokasian uang secara sepihak tadi kita kenal dengan istilah "korupsi". Kemudian, bila hal itu diketajui oleh pihak lain, seperti yang sudah penulis katakan sebanyak dua kali, jadilah berita. 

*** 

Hal-hal demikian oleh seorang pakar ilmu politik disebut sebagai perwujudan politik (politict manifest) paling kasar, yaitu perebutan kekuasaan, kedudukan, dan harta. Perwujudan yang sangat mengedepankan prinsip siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana (who get what, when, and how). Ini samasekali tidak memperlihatkan etika dan moral. Walaupun, memang ada beberapa negara yang melaksanakan politik bebas-nilai (value free), yang berarti tidak terikat dengan etika dan moral. Bahwa persoalan yang menjadi pokok adalah bagaimana pemerintahan dapat terlaksana sehingga dapat mencapai tujuan tertentu. 

Proses politik yang menghasilkan produk negatif seperti koruptor, penyuap, dan penyeleweng dalam dugaan penulis disebabkan oleh sistem politik yang buruk. Ada beberapa negara yang mengubah sistem politiknya. Sehingga sistem politik yang tadinya menghasilkan produk negatif menjadi menghasilkan produk positif. Kalau pemerintah lebih banyak menghasilkan prestasi daripada masalah, akan berdampak pada pemberitaan yang positif. Politik disajikan oleh media informasi sebagai suatu hal yang positif. Yang pada akhirnya merubah stigma menjadi citra baik. 

Selain sistem, tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri juga berpengaruh terhadap citra politik. Karena citra diciptakan oleh masyarakat, mereka yang memutuskan suatu hal memiliki citra buruk atau baik. Pemahaman yang dangkal membuat orang tidak bisa memahami sesuatu secara mendalam. Akhirnya sesuatu yang pada permukaannya negatif akan dipandang negatif secara keseluruhan, tanpa mempedulikan aspek-aspek lain. 

Namun, yang penulis tekankan di sini bukanlah pendidikan secara kuantitatif, meliputi jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, dan seterusnya. Karena pemahaman secara kuantitatif akan menghasilkan generalisasi-generalisasi yang kurang tepat. Seperti anak SD pasti lebih bodoh dari anak SMP, anak SMA lebih pandai dari anak SMP, dan seterusnya. 

Yang penulis tekankan adalah pendidikan secara kualitatif, meliputi ketajaman analisa, keluasan wawasan, pemahaman yang mendalam dan seterusnya. Di mana, hal-hal itu tidak melulu hanya didapatkan dalam lingkungan pendidikan formal. Penulis banyak menjumpai orang-orang yang boleh dikatakan pandai secara pendidikan formal, tapi di luar lingkungan pendidikan formal bisa dikatakan bodoh dalam tindakan, keputusan, maupun pemikiran. 

Jika tingkat pendidikan seseorang sudah mapan, sudah barang tentu dia bisa memilah-milah apapun yang masuk dalam pikirannya. Serta berani merumuskan sikap tersendiri, tidak cuma mengikuti arus publik saja. [Februari, 2022]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun