Politik, kata Guru Besar Ilmu Politik UI Miriam Budiarjo, sebenarnya adalah upaya untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Kemudian dari kata "upaya" ini, lahir beberapa alternatif cara. Sebagai contoh, untuk membangun bangsa yang baik memerlukan beberapa upaya, seperti peningkatan mutu pendidikan, pembangunan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. Upaya mana yang didahulukan? itulah politik.Â
Dari segi bahasa, ada yang mengatakan bahwa politik berasal dari kata "polis" yang berarti kota. Yang mana dalam sebuah masyarakat negara-kota (city-state), kebijakan publik diputuskan melalui sebuah forum yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat. Ada pula yang mengatakan kalau politik berasal dari kata "politict" yang artinya cara. Terminologi yang kedua sesuai dengan definisi dari Miriam Budiarjo tadi, bahwa politik adalah cara untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.Â
Beberapa ahli ilmu politik menempatkan negara sebagai inti dari gagasan politik. Meskipun ada juga beberapa ahli yang menempatkan kesuasaan sebagai pokok pembahasan. Tapi itu kita kesampingkan dulu, agar sesuai judul di atas.Â
Dalam sebuah negara, terdapat beberapa bagian, seperti: wilayah, pemerintah, rakyat, dan undang-undang. Pemerintah (birokrat) sebagai salah satu komponen politik memiliki kekuasaan (power), wewenang (authority), dan kewajiban-kewajiban yang berdasarkan kepada konstitusi. Dengan wewenang dan kekuasaannya, pemerintah berhak membuat keputusan dan kebijakan publik. Dua hal inilah yang kemudian sering menjadi pemberitaan.Â
Selain dua hal tadi, beberapa aspek yang memiliki sangkut-paut dengannya pun tak luput dari pemberitaan. Karena, sebuah keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melibatkan berbagai pihak. Ambil contoh keputusan menetapkan undang-undang dalam negara demokrasi. Sekurang-kurangnya pihak-pihak yang terlibat adalah wakil-wakil rakyat, para ahli di bidangnya, pemimpin negara, dan badan yudikatif. Dalam prosesnya, memungkinkan terjadinya dinamika-dinamika politik. Seperti lobbying yang membuat pelaku berusaha meyakinkan pihak lain.Â
Dinamika itu akan lebih terasa apabila terdapat pihak dari luar yang berusaha ikut campur dalam proses penyusunan undang-undang. Sudah menjadi rahasia umum kalau ada beberapa wakil rakyat yang memiliki keterikaran dengan pelaku usaha. Wakil rakyat, sebelum menjabat, dibantu oleh pengusaha dengan kekuatan finansialnya untuk memperlancar jalan calon wakil rakyat dalam meraih kedudukan. Maka, sebagai "balas budi"nya wakil rakyat terpilih tadi, pengusaha menitipkan beberapa aturan agar diperjuangkan menjadi undang-undang, yang kemudian dikenal sebagai "pasal titipan". Kalau prosesi menitipkan aturan tadi diketahui pihak lain, jadilah berita.Â
Pasal titipan tadi, kalau dirasa sulit diterima oleh forum, maka wakil rakyat yang dititipi akan mencari cara lain agar usulannya diterima. Diberikanlah sejumlah uang kepada wakil-wakil rakyat yang lain agar mereka mendukung usulan wakil rakyar yang dititipi tadi. Terjadilah peristiwa yang selama ini kita kenal sebagai "penyuapan" dan jadilah berita.Â
Apabila cara-cara tadi tidak juga membuahkan hasil yang bagus, atau secara gamblangnya usulan tadi ditolak oleh forum, yang pada akhirnya tidak jadi ditetapkan sebagai undang-undang, pengusaha akan meminta uangnya dikembalikan. Wakil rakyat tadi tidak bisa tidak mengembalikan bantuan finansial yang dia terima, karena pengusaha mengancam akan membeberkan semua informasi yang tidak baik kepada khalayak ramai. Kemudian dikembalikan-lah uang itu.Â
Bantuan finansial tadi, sedikit banyak telah digunakan oleh wakil rakyat untuk keperluan pribadi. Maka untuk menutup kekurangan uang yang harus dikembalikan, wakil rakyat secara ilegal mengambil kas negara atau apapun yang merupakan uang milik kolektif, yang seharusnya dialokasikan menurut keputusan bersama. Pengalokasian uang secara sepihak tadi kita kenal dengan istilah "korupsi". Kemudian, bila hal itu diketajui oleh pihak lain, seperti yang sudah penulis katakan sebanyak dua kali, jadilah berita.Â
***Â
Hal-hal demikian oleh seorang pakar ilmu politik disebut sebagai perwujudan politik (politict manifest) paling kasar, yaitu perebutan kekuasaan, kedudukan, dan harta. Perwujudan yang sangat mengedepankan prinsip siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana (who get what, when, and how). Ini samasekali tidak memperlihatkan etika dan moral. Walaupun, memang ada beberapa negara yang melaksanakan politik bebas-nilai (value free), yang berarti tidak terikat dengan etika dan moral. Bahwa persoalan yang menjadi pokok adalah bagaimana pemerintahan dapat terlaksana sehingga dapat mencapai tujuan tertentu.Â