Mohon tunggu...
Faizal Chandra
Faizal Chandra Mohon Tunggu... Relawan - Guru Matematika

terus belajar dan terus belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Editor Waktu (Bagian 2)

19 Maret 2018   21:28 Diperbarui: 19 Maret 2018   21:42 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: fractalenlightenment.com

Sandy mengambil laptopnya di kamarnya, lalu membuka browser dan menunjukan sesuatu pada Wijaya.

"Nih Wi, coba lihat apa yang aku temukan kemarin di internet." kata Sandy menunjukkan sesuatu.

"Precognition?"

"sebuah kemampuan Psikis, dimana pemilik kemampuan ini mampu menangkap gambaran sebuah kejadian sebelum kejadian itu terjadi, dengan kata lain, mampu melihat masa depan."

"Oke, tapi aku tidak pernah berusaha meramal bertapa atau apapun itu. Yang ku lakukan hanya melamun berimajinasi lalu menulis hasil khayalan tadi menjadi sebuah rangkaian kisah fiktif. Bagaimana aku bisa punya kemampuan Psikis?" Wijaya perlahan berusaha memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya.

"Oke ada teori menarik, dari seorang Psikolog bernama Dr. Hermann Gustav. Psi bersama Prof. Paul Parkman. MSc. mereka mengatakan bahwa, jika dimensi waktu bisa digambarkan dalam bentuk sebuah garis linier, maka kita dapat menyimpulkan bahwa waktu adalah sebuah 'seek bar' artinya masa lalu, sekarang atau masa depan hanya sebuah urutan sesuatu yang sebenarnya sudah ada. Lalu beberapa orang di dunia ini dengan kemampuan gelombang otak misterius yang masih diselidiki oleh para Ilmuwan, mampu menangkap gambaran dari urutan kejadian yang akan terjadi selanjutnya."

"Maksudmu, orang-orang dengan kemampuan Precognition ini, otaknya mampu menangkap kejadian di masa depan dari bocoran dimensi waktu yang kita tempati begitu?"

"Ya tepat sekali, kau langsung nyambung dengan teori ini. Artinya kau punya kemampuan melihat masa depan. Dan bagaimana kau melakukannya, jawabanya saat kau melamun!" Sandy menjelaskan dengan penuh semangat.

"Melamun? Maksudmu saat aku mencoba mencari ide untuk menulis cerita fiksi?"

"Ya, untuk menulis sebuah fiksi tentunya kau butuh inspirasi, baik itu dari kehidupan nyata ataupun imajinasi. Nah saat kau berimajinasi terkadang kau membebaskan pikiranmu melayang dalam lamunan, dan tanpa kau sadari kau menangkap gambaran masa depan."

"Oke, oke, aku paham, jadi dengan kata lain, aku menangkap gambaran masa depan dan secara tidak sadar menganggapnya sebagai imajinasiku begitu?" Wijaya menyahut.

"Tepat sekali. Menurutku cerpenmu, mengandung imajinasi murni darimu dan juga mengandung gambaran masa depan yang telah kau anggap imajinasimu juga. Itu sebabnya cerpenmu mampu memprediksi masa depan."

"Astaga... ini semua sungguh mengejutkan. Penjelasan ini cukup masuk akal dan membuatku sedikit lebih menangkap apa yang terjadi padaku. Tapi walau begitu teori ini sangatlah rapuh dan kurang bukti, pastinya di luar sana pengkritiknya tak terhitung."

"Iya kau benar soal itu, terkadang kebenaran sungguh di luar perkiraan. Untuk mempercayai sesuatu kita tak bisa menunggu selamanya untuk sebuah konfirmasi kebenaran, karena kita bukan mahluk abadi." Sandy mengungkapkan pemikiran filsafatnya. Sejak SMA Sandy adalah orang yang berpikir filosofis, sementara Wijaya orang yang berpikir secara Ilmiah dan rasional. Tapi walau berbeda cara berpikir, mereka berdua menjadi sahabat yang saling melengkapi gagasan mereka.

"Iya, iya Mr. Aristoteles." ujar Wijaya bercanda. Beberapa saat kemudian, Wijaya pamit pulang karena hari mulai malam.

Keesokan harinya, di hari sabtu pagi Wijaya berniat pulang ke rumah orangtuanya menggunakan kereta. Tiba-tiba ponsel Wijaya berbunyi. Terlihat nama sang Editor muncul di layar ponselnya, "iya halo bang.."

"Anu Wi.. Cerpen yang kamu kirim kemarin bagus banget, tapi ceritanya terlalu panjang." ujar editor.

"Terlalu panjang bagaimana bang? semalam saya ngetik hanya 6 lembar kertas kok jadinya.."

"6 lembar apanya, ini jelas-jelas 12 lembar, ini kepanjangan buat dimuat di majalah, dan ada satu masalah wi, ceritamu ini kok sad ending sih? Pasti banyak pembaca yang tak suka dengan ending yang anti klimaks begini, tapi ya terserah kamu sih."

"hah 12 lembar, kok bisa sad ending? Ah bentar deh bang nanti saya cek dulu kayaknya ada yang salah nih, kalau misal nanti diralat boleh kan?"

"boleh sih, tapi cepat ya, ini sudah mepet banget, belum editing sama pencetakannya, tiga hari lagi majalah kita terbit." tegas editor.

"Iya iya, maaf ya Bang.." panggilan diakhiri.

Wijaya segera lari menuju laptopnya dan membuka cerpen yang ia ketik malam kemarin. Dia begitu terkejut bahwa cerpenya benar-benar berubah, seolah seseorang telah mengetik ulang kisah tersebut, kisah yang ia tulis menjadi dua kali lebih panjang dari seharusnya, dan kisah endingnya pun berubah menjadi Sad-ending yang awalnya adalah Happy ending. Dia menutup laptopnya dan segera pergi ke rumah Sandy sahabatnya. Saat Wijaya mengunci pintu dan hendak meninggalkan rumah, tiba-tiba pagi itu hujan deras padahal saat itu bukan musim hujan. Yang membuat Wijaya heran adalah suasana pagi itu benar-benar persis seperti yang ia gambaran dalam cerita yang ia tulis tersebut, bahkan memiliki tanggal dan hari yang sama.

Sandy segera membuka pintu rumahnya yang digedor-gedor oleh Wijaya.

"Iya iya sebentar.." Sandy membuka pintu, terlihat Wijaya memakai jaket yang basah karena hujan deras pagi itu.

"eh? Wi? ada apa?!"

"San.. gawat, sesuatu yang aneh terjadi.."

"Oke tenang dulu, masuk dulu, dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi sampai membuatmu segelisah ini." ujar Sandy.

"Nih!! lihat halaman sepuluh!" Wijaya memberikan lembaran cerpen yang ia print pagi ini.

"aku menulis kisah tentang seorang mahasiswi jurusan teknik kimia yang berhasil melalui masa-masa sulit di keluarganya dan berjuang demi prestasinya, pada akhirnya dia berhasil membuat sebuah penemuan berupa pengawet makanan organik yang ampuh dan sangat sehat."

"Tapi cerpen ini, bukankah terlalu panjang Wi.."

"Itu dia masalahnya.." Wijaya menyela.

"cerpen itu awalnya ku ketik kemarin malam dan aku yakin sampai ending hanya enam halaman, lalu aku tertidur di depan laptopku. Berhubung sudah deadline saat bangun pagi langsung ku save dan segera ku kirim via Email ke Editorku. Namun tadi pagi saat ku cek tiba-tiba saja cerpenku berubah dua kali lebih panjang dan ditambah lagi ending kisah ini berubah, lihat.. di kisah ini diceritakan si mahasiswi hendak mengambil penghargaannya di universitas, namun ia tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api, dia tewas saat berusaha menyelamatkan nyawa orang lain!"

"Tenang, apa kau yakin hanya kau yang ada di rumahmu saat itu? Apa kau yakin kau tidak mengetik kisah tersebut?" Sandy berusaha menenangkan.

"Aku dengan sadar sangat yakin aku tidak mengetik itu."

"Kecuali kalau kau mengetiknya dalam keadaan setengah sadar." sahut Sandy.

"Apa? Maksudmu aku menulis cerita ini dalam keadaan setengah sadar? Tidak mungkin!" sentak Wijaya.

"Dengar Wi! semua yang terjadi padamu akhir-akhir ini sangat di luar akal, tapi kita semua tahu itu benar-benar nyata. Kau mampu menangkap gambaran masa depan, kau mempunyai kelebihan Precognition, jadi sesuatu seperti menulis dalam keadaan tidak sadar bukanlah sesuatu yang mustahil. Dan bisa saja kisah yang kau tulis ini adalah.."

"Sesuatu yang akan terjadi!" Wijaya menyela.

"Iya.."

Bersambung .....

-Aliffiandika-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun