Mohon tunggu...
Faizal Rafiul Umam
Faizal Rafiul Umam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penolakan Perpres tentang Investasi Miras di Indonesia oleh Beberapa Ormas Islam

5 Juli 2023   22:22 Diperbarui: 28 Juni 2024   16:35 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.indozone.id/news/qEsjEgg/nasdem-dukung-perpres-jokowi-soal-izin-investasi-miras-bisa-serap-tenaga-kerjaInput sumber gambar

Indonesia merupakan Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dengan jumlah Laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500 edisi 2023 melaporkan bahwa populasi muslim di Indonesia jumlahnya mencapai 237,55 juta jiwa atau  setara 86,7% dari jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah yang sangat banyak ini tentu mempengaruhi sosial-budaya ekonomi dan politik di daerah tempat dimana islam mengalami perkembangan yang cukup melesat. Seperti di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan beberapa pulau lainnya, islam sudah membumi hingga ke dalam tradisi sehari-hari kehidupan mereka. Menurut Budhi Munawar-Rahman Islam di Indonesia telah memberi dasar-dasar pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (weltanschaung) beserta nilai-nilainya yang universal pada banyak kebudayaan lokal. Hal itu menunjukkan pengaruh Islam di Indonesia yang sangat besar atas dasar nilai-nilai yang bersifat universal. Tak terkecuali pada kehidupan bersosial dan kegiatan perekonomian masyarakat, seperti contoh adanya  industri pangan Halal dan Investasi Syariah. Dua contoh tersebut cukup meyakinkan bahwa kekuatan nilai universal islam telah menyatu dengan aktifitas perekonomian masyarakat. Dengan didukung partisipan masyarakat dan kebijakan dari pemerintah agar selaras dalam memajukan misi bersama.

 

Namun tidak selamanya rencana pemerintah dalam upaya memajukan perekonomian negara mendapat dukungan dari masyarakat, seperti rencana Presiden Joko Widodo mendukung investasi minumas keras di Indonesia bagi investor asing melalui Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Penetapan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak ditandatangani yakni per tanggal 2 Februari 2021. Sebelumnya, industri tersebut masuk dalam kategori bidang usaha tertutup.

 

Selanjutnya, dalam lampiran III Perpres 10/2021, telah diatur mengenai empat klasifikasi miras yang masuk dalam golongan bidang usaha dengan ketentuan tertentu : 1) Industri miras dengan kandungan alkohol, 2) minuman keras dengan kandungan alkohol berbahan anggur, 3) perniagaan eceran minuman keras dan beralkohol, 4) perdagangan eceran lapak kaki lima minuman keras atau beralkohol. Untuk nomor satu dan dua memiliki persyaratan yaitu untuk penanaman modal hanya dapat dilakukan di Provinsi NTT, Provinsi Bali, Provinsi Papua, dan Provinsi Sulawesi Utara dengan tetap memperhatikan kearifan serta budaya lokal. Penetapan penanaman modal akan dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur. Adapun nomor tiga dan empat terdapat persyaratan jaringan pendistribusian dan lokasi  harus disediakan secara khusus. Tujuan Presiden Jokowi tersebut bukan lain adalah mendukung kemajuan pariwisata dan UMKM dalam negeri dengan menarik perhatian investor asing. Namun, beberapa ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI menolak langkah Presiden Jokowi tersebut.

 

Dikutip dari tempo.co, Ketua PBNU Said Aqil  menolak Perpres yang melegalkan investasi miras, Said Aqil berpedapat bahwa kebijakan tersebut hanya akan merusak bangsa Indonesia karena pemerintah dianggap menaikkan konsumsi minuman keras yang itu dengan tegas dilarang oleh agama. “seharusnya kebijakan pemerintah mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat." tuturnya. Begitupun pandangan dari Ketua PP Muhamadiyyah Anwar Abbas yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut hanya melihat aspek investasi saja, tanpa mengedepankan aspek kemaslahatan bagi masyarakat luas. Adapun dari ketua MUI Cholil Nafis menganggap bahwa Perpres No. 10 Tahun 2021 masih ada yang perlu diluruskan, mengingat adanya aturan yang tak beriringan dengan nilai-nilai kemashlahatan umat.  

 

Dari pernyataan para pimpinan PBNU, PP Muhamadiyah dan MUI, mereka membenarkan penolakan Perpres tersebut, 1) dampak sosial yang ditimbulkannya, 2) keterlambatan pembangunan manusia dan pelanggaran HAM, 3) investasi alkohol yang hanya membawa sedikit keuntungan, justru lebih banyak merugikan, dan 4) tidak ada ajaran di dalam agama yang  mengajarkan untuk membenarkan minum berat, termasuk berinvestasi di dalamnya. Pengaruh sosial yang relevan adalah dapat memicu peningkatan kejahatan di masyarakat, sehingga menimbulkan potensi melakukan tindakan menyimpang seperti agresi, ketidakpedulian, menimbulkan  masalah, mengemudi dengan  lalai, seksualitas, pertikaian dan banyak fenomena pengaruh sosial lainnya akibat alkohol.

Penolakan tersebut pun diperkuat dengan sebuah penilitian yang dilakukan oleh Khairiah yang menyebut bahwa kebijakan perijinan investasi minuman kerasdenga dengan peningkatan kriminalitas. Dalam jurnal yang dia tulis menjelaskan bahwa meningkatnya kriminalitas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi juga faktor eksternal. Faktor internal diantaranya desakkan ekonomi, pengangguran, dan tingkat kesejahteraan. Lalu faktor eksternalnya yaitu  pendidikan, pergaulan, lingkungan dan berbagai macam perijinan juga memantik meningkatnya kriminalitas. Ia menambahkan bahwa semestinya kebijakan-kebijakan yang ada harus ada korelasi positif dengan tujuan memberantas kejahatan, kekerasan dan kriminalitas. Sebab  efektifitas dari fungsi kebijakan bukan sekedar memiliki efek individu, melainkan juga efek besar terhadap komunitas masyarakat yang bisa tinjau pada tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

 

Meskipun dalam lampiran Perpres yang menjadi aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu dikatakan, penanaman modal baru kepada industri miras mengandung alkohol dan minuman mengandung alkohol bisa dilakukan di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan tetap memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Namun tetap mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Cholil Nafis mempertegas dirinya bahwa ia sendiri menolak terhadap investasi miras, meskipun ditempatkan menjadi empat provinsi saja.

 

Adapun cara mengatasi pertentangan suatu kebijakan pemerintah yang dinilai merusak ketentraman masyarakat adalah dengan mengedepankan nilai kemaslahatan untuk seluruh elemen masyarakat. Tidak merugikan suatu daerah, tidak juga menguntungkan satu belah pihak dari satuan pemerintah. Dalam hal ini, Perpres mengenai perijinan untuk berinvestasi industri minuman keras hanya membawa kemudharatan untuk masyarakat Indonesia, seperti kita ketahui bahwa banyak dampak negatif yang ditimbulkan dengan mengonsumsi minuman keras, meski dari bisnis tersebut dapat membawa keuntungan, namun tetap saja itu tidak baik karena punya dampat negatif yang sangat tinggi. Tentu bukan solusi yang baik dengan mengambil kebijakan namun tanpa melihat resiko besar yang akan terjadi. Karena dampaknya akan sangat besar dan bila sudah mengakar akan susah untuk dicabut produk kebijakan tersebut. Meski tujuannya adalah unduk memajukan perekonomian di Indonesia, akan tetapi bila mengundang kegaduhan di masyarakat. Selain itu, seharusnya pemerintah perlu menimbang kontraksi yang timbul di berbagai sektor ekonomi, terlebih  kondisi perekonomian Indonesia yang masih termasuk dalam Middle Income Trap. Jadi, untuk memutuskan kebijakan yang baik adalah yang mampu memecahkan masalah di masyarakat, bukan sebaliknya. Dan sikap bijaksana pun diperlukan dengan adil dan memberikan harapan positif untuk lebih baik lagi. 

 

Meski akhirnya Presiden Joko Widodo telah memutuskan mencabut lampiran Peraturan Presiden tentang pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras berbahan alkohol, yang telah mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Tetap saja kita perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan kedepannya dalam memproyeksikan kemajuan perekonomian Indonesia tanpa merusak keutuhan dan kesatuan bangsa ini. Semua kebijakan harus bermuara pada kebaikan bersama, bukan malah membawa kerugian untuk negeri ini. Peran masyarakat sangatlah penting untuk memonitori semua kebijakan pemerintah agar tak semena-mena berjalan dengan menguntukan satu pihak saja. Kita tahu bersama bahwa Indonesia negara yang besar dengan sumber daya alam yang kaya dan masyarakatnya yang majemuk. Untuk itu, perlu ada keselarasan antara pemangku kebijakan dan masyarakat agar bisa berjalan bersama untuk memajukan negara Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun