“Itu soal teknis, Mat. Perkara gampang.”
“Gampang gimana?”
“Aku bisa telanjang di mana saja termasuk di sini.”
Cak Dlahom memelorotkan sarungnya dihadapan Mat Piti dan seperti biasa ia hanya cekikikan. Duda tua yang hidup sendiri di gubuk dekat dekat kandang kambing milik Pak Lurah ini memanglah sering berlaku kurang waras, kacau, aneh, kalut, dan ganjil dicerna oleh orang normal. Tapi apa yang disampaikannya lewat percakapan dan analoginya adalah cerminan dari kita yang merasa pintar yang ternyata masih bodoh.
Adalah misal ketika Mat Piti penasaran mencari Allah—sebab pada kemarin malamnya dalam perdebatan mereka ikhwal syahadat Cak Dlahom berkata, “kapan kamu menyaksikan Allah?” pada Mat Piti. Mat Piti dengan seribu rasa penasaran mendatangi Cak Dlahom ke pinggir kali dekat kuburan kampung—dengan maksud agar mendapat penjelasan dari Cak Dlahom atas apa yang disampaikannya.
Mat Piti bingung dengan kalimat “menyaksikan Allah” yang terlontar dari mulut Cak Dlahom, dan dengan itu ia sibuk mencari Allah agar bisa menyaksikan Tuhan yang ia sembah. Cak Dlahom dengan santai menjawab bahwa tak usah bingung mencari Allah dan menganalogikannya dengan ikan yang hidup di dalam air tapi masih mencari air. Pun begitu dengan Allah ia meliputimu disetiap saat, lebih dari denyutan nadi yang paling halus yang pernah dirasa dan didengar.
“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekah-sedekahmu masih kautulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kaugunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya” Demikian timpalnya pada Mat Piti.
Cak Dlahom ini memang ingin dinilai sinting dan tak waras oleh orang desa, kelakuannya diluar batas normal, ingin disebut anjing, telanjang bulat dan telentang di depan masjid karena untuk sedekah pada nyamuk, tidak berbicara selama beberapa hari sebab capek dan takut karena ia berbicara sedari kecil sampai pada usia tuanya, bertingkah biasa saja ketika dikerubungi tawon, duduk sila memandangi batu besar di pinggir kali, dan beberapa kisah agak gila tapi substansinya adalah tamparan bagi kita.
Cak Dlahom ini sering cekikikan sendiri dan ia pribadi yang tidak ingin dipuji oleh orang lain. Umpama ketika Cak Dullah sang mantan imam masjid desa yang pensiun selama 5 tahunan terakhir merasa bingung dan bertanya padanya yang dianggap ngerti agama dan hendak menimba ilmu padanya.
Dalam satu kisah pertemuan dengan Cak Dullah, dia bercerita tentang ahli ibadah yang beribadah selama 3 abad tapi tidak diterima ibadahnya. Bahwa sebab nafsu dan orang-orang yang memujinya adalah yang menutup dirinya dari mukasyafah.
Sekarang pakailah baju robek dan jelek, setelah itu datang ke masjid, kumpulkan anak-anak lalu suruh mereka menamparmu dan berikan 1 lembar uang sebagai upahnya, setelah itu datangi orang-orang tua yang memujimu, lalu berikan uang 2 embar lebih banyak dan minta mereka menamparmu juga.