Mohon tunggu...
Faith Silmi
Faith Silmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Dunia dan Indonesia: Paradigma Radikal dan Esensinya

23 Januari 2016   15:49 Diperbarui: 24 Januari 2016   00:07 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Atau, menjadi Islam haruslah radikal apabila memakai makna “maju dalam berpikir dan bertindak”. Bukankah memang seharusnya umat Islam memiliki pikiran dan tindakan yang maju? Sehingga masyarakat dapat menerima dan tak menimbulkan keresahan dan ketakutan.

Bahkan apabila menggunakan makna dalam hal politis, Islam juga seharusnya Radikal dalam makna “amat keras menuntut perubahan (undang - undang, pemerintah)” apabila rezim yang berkuasa adalah pemimpin kejam menyengsarakan rakyatnya, atau apabila undang - undang yang dihasilkan hanya berdiri pada kepentingan kapitalis belaka. Tentunya dengan pola pikir dan tindakan yang maju serta pemahaman agama yang benar dan menyeluruh. Bukankah seharusnya seperti itu?

Maka, radikal mengalami kesan yang buruk di masyarakat akibat penggunaannya yang salah. Dan yang paling menjadi masalah serius adalah, kesalahan makna pada kata “Radikal” mencatut Islam sebagai korbannya, menghasilkan gabungan kata “Islam Radikal” yang begitu ditakuti orang.

Bisa dikatakan bahwa aksi teror yang mengatasnamakan Islam malah menyalahi esensi radikal itu sendiri. Bagaimana tidak? Tindakan seperti itu menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang agama tidak menyeluruh dan mencapai prinsip dari ajarannya, yang akhirnya menghasilkan kesalahan dalam bersikap.

Esensi Radikal pun kurang cocok bagi aksi semacam itu apabila melihat cara berpikir dan bertindak para pelakunya yang malah merugikan banyak pihak. Kesesuaian antara pemahaman yang baik dan mendasar, kemajuan berpikir dan bertindak guna menuntut perbaikan kepada penguasa yang kejam kurang sesuai dengan tindakan teror yang meresahkan hingga memakan korban.

Alhasil, masyarakat terutama umat Islam mengalami imbas dari pemahaman yang salah dan aksi teror ini. Belajar di pesantren dan mempelajari ilmu agama menjadi tidak diminati akibat takut sesat arah, kajian Islam diawasi, orang tua yang melihat putrinya berhijab hingga menutup sebagian tubuhnya menjadi takut melihat tingkah putrinya, bahkan salah sangka nama orang sebagai teroris sering terjadi.

Apabila melihat fenomena terorisme yang menggemparkan maka memang seharusnya masyarakat membenci dan menghindari tindakan tersebut, Saya pun termasuk yang sangat benci melihat agama dan nama Sang Pencipta yang begitu suci dipakai demi alasan mereka melakukan kekejian, sebuah penistaan agama yang menghasilkan kerugian bagi Islam dan umatnya.

Namun, menjadikan Islam sebagai hal yang ditakuti bukanlah tindakan yang baik, apalagi hingga sampai melakukan tindakan balik yang menjadikan Islam dan Muslim sebagai korbannya.

Kiranya harus segera dilakukan upaya pembersihan nama baik dan penjelasan yang benar tentang Islam, agar di mata masyarakat, segala yang berbau Islam belum tentu mengarah kepada terorisme dan mungkin istilah - istilah yang dihindari malah memiliki makna vital yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat Islam.

Akankah kita mewujudkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun