Mohon tunggu...
Faisol  rizal
Faisol rizal Mohon Tunggu... Freelancer - akademisi, penulis lepas

Berbahagia dengan Membaca, Berbagi dengan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Perannya untuk Bangsa dan Tantangan di Era Post Truth

4 Desember 2020   23:46 Diperbarui: 4 Desember 2020   23:56 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu (Sumber Gambar: www.pexels.com)

Tulisan saya awali dengan menceritakan sedikit kisah salah satu pemimpin Dinasti Umayyah, yaitu Umar bin  Abdul Aziz dan istrinya, Fatimah binti Maimun. Kisah bermula ketika Umar bin Abdul Aziz melakukan reformasi pada era kepemimpinannya dengan bertekad membersihkan negara dari tradisi korupsi pejabat kerajaan atau Negara. Tetapi, satu  hal yang paling dikhawatirkannya adalah istrinya yang berpotensi mengikuti tradisi istri raja atau pejabat sebelumnya yang gemar mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya.

Karena Umar bin Abdul Aziz sudah bulat dengan tekadnya, maka reformasi tersebut juga harus dimulai dari keluarganya. Suatu hari ia memberikan perhiasan istrinya ke "Baitul Mal" (kantor perbendaharaan negara). Manakala Fatimah mengetahui hal tersebut, ia mengkritik apa yang dilakukan oleh suaminya. Tetapi, dengan tegas Umar memberikan pilihan untuk tetap hidup bersamanya atau kembali kepada keluarganya sembari berkata "aku tidak ingin tugas-tugasku direpotkan dengan kesenangan istriku". Pada akhirnya Fatimah memilih pilihan yang pertama dan rela semua perhiasannya diserahkan kepada kas negara.

Dari sepenggal kisah tersebut, selain bisa meneladani jiwa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, teladan juga bisa kita ambil dari keberanian Fatimah binti Maimun untuk hidup bersahaja dan sederhana meskipun suaminya adalah seorang pemimpin besar kerajaan dinasti Umayyah. Justru teladan dari Fatimah binti Maimun ini yang luput diteladani. Bagaimanapun perempuan adalah calon-calon ibu yang akan menjadi sekolahan pertama bagi putra-putrinya. Calon-calon ibu yang mengandung masa depan generasi penerus bangsa.

Cermin Fatimah binti Maimun 

Memotret sosok seorang ibu dalam bentuk tulisan bagi saya adalah sesuatu yang tidak gampang. Ibuku adalah seseorang yang memberikan panutan dan mendidik putra-putrinya dengan prilaku. Sehingga mungkin cukup mudah untuk menghitung tindakan-tindakan Ibu. Akan tetapi, justru sulit untuk menerjemahkan apa yang ingin Ibu ajarkan dari contoh prilaku yang diberikan.

Seperti suatu ketika saya menemani Ibu pergi ke warung untuk membeli makanan sahur. Tiba-tiba datang seseorang yang sepertinya memang hidupnya dihabiskan untuk berkelana di jalan, masuk ke warung yang sama untuk membeli makanan. Tetapi, yang ia beli hanya sebungkus nasi putih lalu lanjut berjalan. Ketika pesanan kami sudah selesai dan dibayar, Ibu memintaku untuk ikut mencari orang yang membeli nasi putih tadi. Setelah ketemu dengan orang tersebut, Ibu memberikan lauk kepadanya dan diterima dengan senang hati.

Sesampainya di rumah dan makan bersama, baru ku sadar bahwa lauk yang Ibu berikan kepada orang tadi lebih enak daripada yang ada di depan kami. Tetapi, saat makan sahur bersama tersebut, Ibu tak membicarakan kejadian di jalan itu. Tanpa menasehatiku, ku tahu bahwa ibu ingin memberi teladan untuk selalu memberi. tidak hanya sekedar memberi, apa yang kita berikan juga harus yang terbaik.

Dari satu cerita itu serta masih banyak cerita-cerita bijak lain yang tidak bisa saya tuliskan semuanya, satu hal yang bisa saya gambarkan dari sosok Ibu adalah seorang wanita yang sedang berdiri di depan cermin, dimana bayangan yang muncul dibalik cermin itu adalah sosok Fatimah binti Maimun dengan segala laku kesederhanaan dan kebersahajaannya.

Saya juga yakin bahwa setiap Ibu memiliki cara terbaik masing-masing dalam mendidik dan mengajari putra-putrinya. Begitu juga dengan Ibu pembaca sekalian bukan? Pasti anda memiliki kisah dan pengalaman masing-masing serta hal-hal berkesan ketika saat dididik dan diajari oleh Ibu yang masih diingat sampai sekarang.

Mendidik Indonesia

Cerita sekilas tentang kesederhanaan dan kebersahajaan Ibu tersebut adalah pemantik serta pendorong saya untuk mengupas betapa pentingnya peran Ibu bagi seorang anak dan keberhasilan suatu bangsa.

Sebagai anak dari Ibu yang telah melahirkan kita, tanpa kasih sayangnya, bagaimana mungkin saya atau kita semua bisa besar dan terdidik seperti saat ini. Ibu adalah sosok luar biasa yang mempunyai tugas yang mulia karena harus membesarkan, mendidik, serta membentuk karakter putra-putrinya.

Jika hal tersebut dipahami secara lebih luas, Ibu adalah seorang wanita yang membentuk karakter suatu bangsa. Seorang Ibu tak hanya membesarkan dan mendidik putra-putrinya untuk kepetingan dan meneruskan perjuangan keluarga. Darinya generasi penerus bangsa dilahirkan dan dibesarkan. Dari kandungannya akan lahir Cendikiawan, Politisi, Budayawan, Praktisi, dan tokoh-tokoh lain yang akan menjadi motor penggerak bangsa.

Terdapat satu syair arab yang berbunyi "Al-ummu madrosatul  ula; idza a'dadtaha a'dadtaha sya'ban thayyibal a'raq". Syair tersebut kurang lebih memiliki arti Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik. Dari syair itu, terlihat jelas bahwa Ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama. Keberhasilan suatu bangsa adalah cermin keberhasilan ibu dalam mendidik putra-putrinya.

Tantangan Ibu di Era Post Truth

Memasuki era media sosial, tampaknya peran orang tua terutama Ibu amat sangat penting. Apalagi sekarang kita sedang hidup di era Post Truth. Era tersebut merupakan suatu kondisi dimana kebenaran emosional lebih dipilih oleh sebagian orang daripada kebenaran objektif. Gampangnya, terdapat suatu kecenderungan dimana seseorang memilih informasi berdasarkan apa yang diyakini terlebih dahulu dan menolak informasi yang bertentangan meskipun ada potensi bahwa informasi yang bertentangan tersebut merupakan fakta yang objektif.

Lantas, apa sisi negatifnya? Tentunya sudah banyak sekali yang membahas salah satu paket yang dibawa media sosial dan era post truth adalah Hoax (berita bohong). Di era media sosial dimana  terjadi banjir informasi ditambah dengan mulainya era post truth, tanpa kehati-hatian, kewaspadaan, serta cek dan ricek segala informasi yang diterima, jangan berharap tidak menjadi korban hoax. Oleh karena itu, sekali lagi dibutuhkan kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi terlebih yang bersumber dari media sosial.

Media sosial dan era post truth tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua khususnya Ibu dalam mendampingi putra-putrinya. Sebagai seorang Ibu selain harus membentengi diri pribadi, ia juga dituntut untuk mampu menyiapkan dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus bangsa agar mampu berpikir kritis sehingga tidak terbawa arus di era media sosial dan post truth.

Dalam hal ini, meskipun pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menginisiasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk mendorong siswa agar memiliki budaya membaca dan menulis di sekolah serta mampu berpikir kritis, peran orang tua khususnya Ibu tentunya paling penting. Bagaimanapun Ibu merupakan sekolahan pertama dan utama bagi putra-putrinya.

Pada akhir tulisan ini. Mari kita ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ibu yang telah memberikan kasih sayangnya serta mendidik dengan sabar dan ikhlas. Tak lupa kita doakan ibu kita supaya senantiasa diberi kesehatan dan kebahagiaan. Semoga kita bisa menjadi generasi penerus bangsa yang mampu membanggakan Ibu kita tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun